Kasus bentrok antara masyarakat Kampung Oneibo dengan anggota Brimob BKO Polsek Tigi Kabupaten Deiyai berdampak luas. Tidak hanya mendapat perhatian luas dari masyarakat, tapi lima anggota polisi terancam dipecat dari kesatuannya.
TSPP – KASUS bentrokan itu bermula pada Selasa, 1 Agustus 2017 lalu. Hari itu, ada seorang warga Kampung Oneibo Distrik Tigi yang sedang mencari ikan di kali tenggelam, sehingga beberapa warga di sekitar membantu menyelamatkan korban lalu membawanya berobat ke Rumah Sakit Umum Daerah Paniai di Enarotali. Karena jaraknya jauh, sehingga seorang guru datang minta tolong ke kepala tukang PT. Putera Dewa Paniai bernama Yohanis Randa untuk mengantar korban ke rumah sakit menggunakan mobil perusahaan.
“Tapi Yohanis tidak berani mengantar orang sakit karena kondisinya sudah sekarat. Dan dia berpikir jika diantar, jangan sampai yang bersangkutan meninggal di jalan lalu masyarakat balik menuntut dirinya”, jelas Kabid Hums Polda Papua, Kombes Pol. A. M. Kamal di Jayapura, 2 Agustus lalu.
Karena Yohanis tidak mau tolong, guru itu pergi mencari mobil di tempat lain yang lebih jauh. Setelah mendapatkan mobil, mereka mengantar korban tenggelam ke rumah sakit di Enarotali yang jaraknya cukup jauh dari lokasi kejadian.
Setibanya di rumah sakit, dokter yang menanganinya menyatakan korban telah meninggal. Lalu masyarakat bawa kembali jenazah ke Waghete, Ibukota Kabupaten Deiyai. Kejadian itu membuat orang marah. Mengingat tenda perusahaan dekat dengan rumah korban, sehingga menurut warga, jika karyawan perusahaan itu menolong secepatnya mengantarkan ke rumah sakit menggunakan mobil, mungkin korban bisa tertolong.
Tapi karena lambat, korban meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit. Akhirnya, warga marah dan melempari kamp perusahaan dengan kayu, batu dan alat tajam lainnya serta memukuli karyawan.
Sehingga karyawan lapor ke Site Manajer PT. Putera Dewa Paniai, Aldi, dan langsung melaporkannya ke anggota Brimob BKO Polsek Tigi. Namun jumlah personilnya kurang, Danton Brimob, Iptu Aslam Djafar melapor ke Polsek Tigi terkait adanya penyerangan karyawan di kamp perusahaan kontraktor yang sedang mengerjakan proyek jembatan.
Tak lama kemudian anggota Polsek Tigi sebanyak delapan orang ditambah sembilan anggota Brimob dipimpin Kapolsek Tigi, Iptu H. M. Raini dan Danton Brimob Iptu Aslam Djafar bersama karyawan perusahaan datang ke tempat kejadian untuk negosiasi dengan masyarakat.
“Waktu menggerakan Brimob itu yang terjadi ekskalasi antara masyarakat dan Brimob kemudian terjadi lempar-lempar dan tembak-tembak, mengakibatkan ada orang menderita luka-luka dan ada yang meninggal dunia”, jelas Plt. Kepala Sekretariat Komnas HAM Daerah Papua, Frits B. Ramandey di ruang kerjanya, 9 Agustus lalu.
Anggota polisi yang hendak negosiasipun panik dan kesulitan mengendalikan emosi warga yang semakin brutal. Akhirnya, aparat mengeluarkan tembakan peringatan yang diarahkan ke atas dan ke tanah untuk menghentikan bentrokan.
Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol. A. M. Kamal mengatakan, peluru yang ditembakan ke tanah itu terpantul dan mengenai sembilan warga sipil, yang mengakibatkan seorang bernama Yulius Pigai meninggal dan delapan warga lainnya menderita luka berat dan ringan. Tiga korban luka berat telah dikirim menjalani perawatan di RSUD Nabire. Tapi dua korban atas nama Derianus Pikey dan Yohanis Pakage dirujuk ke RSUD Dok 2 Jayapura, Jumat 4 Agustus untuk perawatan lebih intensif. Sedangkan empat lainnya telah dipulangkan ke rumah usai perawatan.
Selain warga sipil, sebanyak delapan anggota polisi juga menderita luka akibat kena lemparan batu, kayu dan alat tajam lainnya serta kaca belakang mobil patroli aparat pecah kena lemparan warga.
Kejadian itu membuat sebagian orang di Jayapura marah dan turun menggelar aksi di kantor DPR Papua, pada Selasa 7 Agustus lalu. Massa yang tergabung dalam Solidaritas HAM Masyarakat Papua meminta kasus penembakan di Onebo harus segera dituntaskan, sebab selama ini beberapa kasus serupa yang terjadi di wilayah itu tak kunjung tuntas.
Ketua Dewan Adat Meepago, John Gobay juga menyayangkan kejadian itu. “Jika hari itu, kepala tukang bersedia mengantar orang sakit yang minta tolong ke rumah sakit, kemungkinan peristiwa itu tidak terjadi”.
Semua anggota kepolisian yang berada di lapangan saat kejadian telah dimintai keterangan dan sebanyak sembilan anggota Brimob BKO diajukan dalam sidang kode etik di Mapolda Papua. “Kita akan mengecek proyektil yang bersarang di tubuh korban, apakah menggunakan peluru tajam atau peluru karet. Namun hingga kini belum bisa mengecek proyektil itu karena belum ada persetujuan dari keluarga”, ujar Kamal.
Kapolda Papua Irjend Pol. Boy Rafli Amar mengatakan jumlah aparat yang terlibat dalam bentrokan dengan warga di Kampung Oneibo saat itu sebanyak 17 personil, terdiri dari 8 anggota Brimob dan 9 anggota Polsek Tigi. Mereka diduga melanggar Standar Operasional Prosedur Polri. Pelanggaran SOP itu berupata tidak adanya koordinasi antara Kapolsek Tigi Iptu Maing Raini dengan Kapolres Paniai AKBP Supriyagung sebelum terjun ke lokasi bentok serta tidak menempuh upaya negosiasi sebelum melepaskan tembakan peringatan dan penggunaan senjata api secara tidak terkontrol.
Pelaksana Tugas Kepala Sekretariat Komnas HAM Daerah Papua, Frits B. Ramandey mengatakan dari hasil gelar perkara dan hasil kunjungan lapangan menunjukkan bukti yang cukup untuk dinaikan statusnya. Karena cukup punya tiga fakta penting, yaitu ada orang meninggal, ada tempat kejadian perkara, dan ada orang meninggal, serta ada barang bukti berupa panah, busur, batu-batu, kayu, besi, senjata, selongsong peluru yang diduga mengakibatkan ada orang meninggal.
Kapolda Papua Boy Rafli Amar telah menarik Danton Brimob bersama anggotanya ke Jayapura dan memutasikan Kapolsek Tigi. “Saya telah menginstruksikan kepada aparat Bidang Profesi dan Pengamanan Polda untuk segera menggelar sidang kode etik bagi sembilan personil tersebut”.
Sidang kode etik profesi Polri dimulai digelar pada 9 – 30 Agustus di Aula Rasta Samara Mapolda Papua. Sebanyak sembilan anggota dihadapkan dalam sidang itu, dan empat polisi dinyatakan bersalah, yaitu Aipda ES, Bripka VM, Iptu AD dan Iptu MR.
Saat bentrok, Aipda ES dan Briptu VM mengeluarkan tembakan dengan menggunakan peluru tajam tanpa perintah dari komandannya. Sedangkan Iptu AD berperan sebagai Danton Brimob menempatkan anggotanya di lokasi kejadian tanpa izin pimpinannya, dan Iptu MR selaku Kapolsek Tigi meninggalkan lokasi kejadian tanpa memperhatikan anggotanya yang sedang berhadapan dengan massa.
Dalam sidang, tiga anggota polisi: Aipda ES, Bripka VM, dan Iptu AD mendapat sanksi dipindahkan ke fungsi tugas yang berbeda bersifat demosi selama kurang dari setahun. Sementara Iptu MR, mendapat sanksi dipindahkan ke jabatan yang berbeda bersifat demosi selama sekira setahun. “Mereka dinyatakan bersalah karena perbuatan mereka sebagai perbuatan tercela dan diwajibkan meminta maaf secara lisan”, ujar Kombes Pol. Alfred Papare yang memimpin Sidang Kode Etik Polri, pada 30 Agustus lalu.
Sedangkan lima anggota lainnya dinyatakan tidak bersalah, karena mengeluarkan tembakan peringatan ke atas dan ke tanah menggunakan peluru hampa dan karet atas permintaan komandannya, Iptu AD, yaitu Aiptu MS, Briptu E, Briptu A, Briptu EA dan Briptu RR. “Sehingga tindakkan yang mereka lakukan sesuai prosedur kode etik anggota Polri”, ujar Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol. A. M. Kamal di Mapolda Papua usai sidang.
Mereka dinyatakan bersalah karena melanggar sejumlah regulasi, yaitu Pasal 7 Ayat 1 huruf b dan c serta Pasal 13 Ayat 1 huruf e Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Polri. Menurut peraturan ini, setiap anggota dilarang menyalahgunakan kewenangan dalam pelaksanaan tugas polisi.
Frits Ramandey meminta pemerintah daerah segera melakukan pemulihan terhadap masyarakat, dukungan terhadap para korban, pembiayaan dan sebagainya, sehingga penanganannya bisa berjalan cepat. Sebab kasus Oneibo mendapat perhatian luas dari daerah maupun tingkat nasional.(*). paskalis keagop