Masyarakat Kampung Muaif menggunakan dana desa 2017 merehabilitasi badan jalan sejauh lima kilometer untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat kampung.
TSPP – KAMPUNG Muaif di Distrik Demta, tergolong terisolasi. Masyarakat tidak bisa dengan mudah kemana-mana. Kalau lewat laut harus berjibaku dengan ombak ganas. Mau pakai motor dan mobil, tidak punya jalan raya. Terpaksa jalan kaki di jalan setapak di tengah hutan.
Sekira 1990-an saat Yan Pieter Karafir menjadi Bupati Jayapura, pernah membangun jalan pesisir laut yang akan menghubungkan Muaif, Suma, Demta, Muris Besar dan Maribu. Jarak dari Demta ke Muaif 18 kilometer. Badan jalannya sudah dibangun. Tapi tidak tuntas, karena Karafir bangun di akhir masa jabatan.
Dan setelah itu, tidak pernah dibangun atau diteruskan oleh bupati-bupati berikutnya hingga sekarang. Karena lama tidak dibangun, badan jalan itu sudah kembali menjadi hutan belukar. Masyarakat tidak bisa melintasinya karena banyak pohon besar tumbuh di badan jalan. Sudah bertahun-tahun masyarakat Muaif selalu cari jalan.
Lewat laut, ombaknya ganas. Lagi pula, speedboat tidak bisa dengan gampang masuk dan keluar muara Kali Muaif. “Ombak di muara sangat berbahaya. Takut kalau lewat muara”, kata Engel Walli, Wartawan tabloidjubi.com, yang pernah melewati muara kali itu.
Arus putarannya sangat kuat. Kalau salah hitung ombak, speedboat bersama isinya akan terisap masuk ke dasar laut. “Kalau sudah begini, tidak bisa satupun yang bisa diselamatkan”, ujar Sekretaris Kampung Muaif, Habel Kekri.
Setiap tahun dalam musyawarah perencanaan pembangunan kampung, dan distrik selalu diusulkan dan dimasukkan dalam Musrenbangda, yang langsung dihadiri oleh Bappeda dan dinas pekerjaan umum. Tapi setelah itu tidak pernah muncul di dalam APBD kabupaten. Akhirnya, kondisi transportasi di wilayah pesisir pantai itu tetap begitu saja.
“Setiap tahun dibahas dan diusulkan terus, tapi tidak pernah terakomodasi. Padahal masyarakat sangat membutuhkan jalan ini. Kalau begini, untuk apa bikin Musrenbangda di kampung? Percuma saja”, tegas Kepala Kampung Muaif Yulius Kekri, saat ditemui Senin 20 November lalu.
Kalau tunggu pemerintah Kabupaten Jayapura bangun jalan dan jembatan gantung di Muaif, kapan? Dan itu tidak mungkin. Sehingga masyarakat sepakat dalam badan musyawarah kampung untuk menggunakan dana desa tahap pertama 2017 sebesar 70 juta rupiah untuk rehabilitasi badan jalan sejauh lima kilometer lebih dari Kali Kecil Muaif ke kampung.
Untuk pengerjaannya, masyarakat Muaif menyewa excavator milik CV. Inti Jaya di Nimbokrang selama enam hari kerja. Harga sewa alat berat empat juta rupiah perhari. Biaya mobilisasi alat berat 12 juta rupiah. Total dana yang diserahkan masyarakat Muaif kepada CV. Inti Jaya sebesar 70 juta rupiah.
Pada tahun anggaran 2017 ini, masyarakat Muaif tidak hanya merehabilitasi badan jalan 5,300 kilometer, tetapi juga merencanakan pembangunan jembatan gantung sepanjang 120 meter di Kali Muaif, dengan alokasi dana sebanyak Rp 543.747.650 bersumber dari Respek/Prospek 2012 – 2015. “Dana prospek tahun itu kita belum pernah ambil karena keterlambatan proses administrasi di tingkat kabupaten. Sehingga kita baru urus ambil untuk membangun jembatan gantung”, ujar Kepala Kampung Muaif, Yulius Kekri.
Sesuai petunjuk teknis pengelolaan dana desa (ADD) tidak bisa digunakan untuk pengerjaan infrastruktur berskala besar. Tapi jalan ini terkait dengan kebutuhan masyarakat yang mendesak, “sehingga dengan keadaan terpaksa dan mau tidak mau, kita menggunakan dana ADD untuk membiayai rehabilitasi badan jalan ini untuk menjawab doa dan menghapus air mata masyarakat Muaif. Masyarakat Muaif ini coba diperhatikan kah?”, ujar Yulius Kekri, yang didampingi Ketua Bamuskam Muaif, Adrian Yembay.
Kepala Kampung Muaif, Yulius Kekri mengatakan pemerintah selalu bilang kita harus mendorong adanya peningkatan ekonomi masyarakat. Tapi hasilnya kita tidak bisa gendong dengan kain Jawa atau pikul dengan noken Papua untuk pergi jual di pasar. Infrastruktur jalan ini merupakan nadi utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Dari segi aturan pengelolaan dana kampung, ADD tidak bisa digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur skala besar, tapi dari segi kebutuhan, masyarakat sangat membutuhkan jalan ini.
Sebagai aparat pemerintahan kampung harus mematuhi semua aturan pengelolaan dana yang masuk ke kampung. Cuma kondisi riil di lapangan itu sangat beda dengan aturan-aturan yang ada. Kalau pengelolaan dana kampung berpegang pada aturan, maka tidak akan menyelesaikan masalah di lapangan. “Karena aturan menyatakan lain, dan kebutuhan masyarakat di lapangan lain. Jadi bisa terjadi konflik dan menimbulkan banyak jatuh korban”, ujar Kekri.
Dalam petunjuk teknis, ADD tidak boleh pakai untuk infrastruktur skala besar, hanya bisa dipakai untuk infrastruktur berskala kecil seperti pembersihan parit, pengerjaan jalan dalam kampung, jembatan dalam kampung, pembersihan dalam kampung, dan lainnya.
“Tapi kalau kita tunggu, sampai kapan baru pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten bisa bangun? Sementara masyarakat sangat membutuhkan jalan ini? Makanya, dengan terpaksa kami pemerintah kampung merehabilitasi badan jalan ini, supaya masyarakat bisa menggunakan pada bulan Desemer merayakan natal dan tahun baru”.
Sebab, bulan Desember adalah musim ombak sangat parah, maka masyarakat percepat pengerjaan badan jalan ini untuk selamatkan masyarakat.(*) paskalis keagop.