Belum lama ini, santer diberitakan di media mainstrem dan media sosial mengenai aktivitas penimbunan di kawasan “hutan perempuan” di Teluk Youtefa. Hutan ini, sesungguhnya memiliki arti dan makna mendalam tentang kehidupan sebuah komunitas masyarakat setempat. Namun saat ini, hutan ini semakin tergerus dan nyaris musnah karena derasnya arus perubahan di sekitar kawasan lindung teluk ini dalam 20 tahun terakhir.
Terkait hiruk-pikuk dinamika perubahan pembangunan terkait masa depan hutan ini dan kehidupan warga setempat maka aktivis lingkungan yang sekaligus Pendiri Komunitas Rumah Bakau Jayapura, Abdel Gamel Naser dan Akademisi John Dominggus Kalor (Dosen Program Studi Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan, FMIPA, Universitas Cendrawasih) angkat bicara mengenai eksistensi hutan manggrove dalam bayang-bayang kepunahannya berdasarkan hasil wawancara Jurnalis Tabloid Suara Perempuan Papua, Alfonsa Wayap pada Selasa,18 Juli 2023. Berikut adalah petikan wawancara yang ditulis dalam bentuk tanya jawab terpisah yang dimulai dengan Abdel Gamel Naser:
Apa yang terlintas dalam benak Anda ?
Perasaan saya sangat sedih sekali. Apalagi ketika berjalan ke ujung bakau yang bersentuhan langsung dengan material timbunan. Saya pernah menulis begini,” hutan bakau di teluk di Port Numbay ini akan habis ketika tidak ada lagi yang peduli dengan satu komitmen untuk mempertahankannya.
Reaksi komunitas—rumah bakau— yang anda gagas sebagai bentuk kepedulian terhadap hutan bakau di Jayapura?
Kami sedih karena di tempat lain teman–teman masih berjuang, mencari bibit kemudian menyemai dan menanam bakau. Kawasan bakau yang terus berusaha survive secara alami kini dengan gampangnya dirusak pihak lain.
Jika sudah demikian, pasti komunitas anda menginginkan kembalinya bakau itu seperti semula, terlepas dari siapapun pemiliknya?
Begini, kita harus buka dulu persoalannya seperti apa agar semuanya jelas. Mengapa ada pihak yang berani menimbun sedemikian luas di kawasan konservasi? Dari sini, barulah bisa diketahui langkah yang bisa dilakukan. Upaya revitalisasi adalah satu cara untuk mengembalikan lokasi seperti semua. Ini sudah pernah kami lakukan sejak 2011 hingga sekarang di lokasi Mendug.
Selain bersama komunitas Anda, pernahkah berkolaborasi dalam merawat bakau dari ancaman sampah, logam dan pengrusakan oleh ulah manusia?
Kami pernah jalankan bersama teman—teman Greenpeace Indonesia. Aksi ini bertemakan “merawat yang tersisa”. Berangkat dari satu kesadaran bersama dengan melihat kawasan hutan bakau di Teluk ini merupakan hutan yang tersisa. Juga memiliki nilai sejarah dan kearifan lokal yang patut dipertahankan. Hutan harus tetap ada dan jangan lagi berkurang akibat keserakahan manusia.
Adakah yang Anda lihat kelemahan dari pemerintah yang belum tegas dalam hal aturan terkait?
Ya. Pemerintah perlu tegas menjalankan aturan yang ada. Jika itu menjadi kawasan konservasi, maka sampaikan juga ke public agar pemodal paham. Ketika mereka membeli dan ingin merubah lokasi tersebut maka mereka bisa berfikir dua kali.
Apakah akses jalan yang dibuka mempengaruhi berkurangnya bakau?
Itu sudah pasti. Adanya akses jalan, ada lokasi kiri kanan jalan dengan sendirinya memiliki nilai yang sangat menjanjikan. Bagi pemilik modal ini adalah peluang dan kesempatan untuk “mengganggu” pemilik ulayat dan menjadi dilema karena pemilik lokasi selalu beralasan ekonomi.
Respons Anda kepada pemilik ulayat yang melepas wilayah bakau ?
Menurut saya, aneh bagi saya, sebab, banyak ditemui ketika pemilik negeri ini justru “ngekos”— tinggal di indekos atau kontrak di tanahnya sendiri hanya karena alasan ekonomi, yang sudah saya sampaikan di atas.
<><><>
Wawancara John Dominggus Kalor (Dosen Program Studi Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan, FMIPA, Universitas Cendrawasih
Apakah ada indikasi gagal dalam memproteksi kawasan hutan lindung?
Ini merupakan kegagalan kolektif semua komponen masyarakat, pemerintah, dan lain-lain. Sekarang dilirik banyak orang untuk pengembangan kawasan wisata dan bisnis, di saat yang sama masyarakat pemilik hak ulayat hanya mengandalkan peningkatan/pemasukan ekonomi dari Sewa/Jual tanah kawasan mangrove. Ekosistem mangrove sendiri merupakan rumah dan habitat untuk berbagai jenis biota perairan dan termasuk ikan. Satu-satunya kawasan ekosistem mangrove di pesisir Kota Jayapura, ditemukan dan tersebar di Teluk Youtefa.
Seberapa luas kerusakan yang terjadi dalam kurun satu dekade?
Menurut penelitian saya dan juga kawan-kawan “Ekosistem Mangrove Teluk Youtefa,” mencatat kerusakan terhadap ekosistem mangrove dalam kurun waktu satu dekade meningkat dengan sangat cepat yang disebabkan adanya konversi ekosistem, pembangunan infrastruktur, pengembangan kawasan perkotaan, pembangunan jalan, pembangunan jembatan, pengembangan kawasan wisata, dan penangkapan yang berlebihan.
Seberapa luas yang tersisa dan dampaknya terhadap keberadaan mangrove ?
Luas ekosistem mangrove yang tersisa di teluk ini hanya 233,12 hektare. Dan mempengaruhi berkurangnya luas area mangrove hingga pada kerapatan jarak tumbuh mangrove. Terdapat 7 speses mangrove sejati dan 3 speses mangrove asosiasi yang ada di hutan tersebut.
Fungsi bakau selain penyangga abrasi. Juga tempat biota laut; ikan misalnya yang menjadikan mangrove sebagai rumah untuk berkembang biak dan bernilai tinggi?
Jenis ikan pelagis di perairan Teluk Youtefa nilainya sangat tinggi. Terdapat 36 famili dan 79 spesies ikan yang hidup perairan tersebut. Sumber daya perikanan ini harus dikelola secara berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan dan peningkatan ekonomi masyarakat Kota Jayapura dan masyarakat lokal yang mendiami tiga desa adat di Teluk Youtefa yaitu Desa Enggros, Desa Tobati, dan Desa Nafri.
Bagaimana dengan eksitensi mangrove untuk bisa dipertahankan sebagai laboratorium edukasi?
Ekosistem mangrove adalah laboratorium dan tempat belajar bagi masyarakat kota Jayapura. Lokasi ini bisa saja lenyap diwaktu-waktu mendatang. Untuk itu, perlu komitmen bersama yang super serius untuk menjaganya.
Anda sebagai Akademisi menilai dari sisi peneliti dan pandangan Anda terhadap pebisnis yang mengincar kawasan mangrove sebagai tempat bisnis ?
Pebisnis dan peneliti punya sudut padang yang berbeda. Pebisnis lebih tertarik pada berapa banyak rupiah yang dapat dihasilkan dari Ekosistem Mangrove dan Kawasan Teluk Youtefa. Sedangkan peneliti lebih pada bagaimana Ekosistem Mangrove dan Kawasan Teluk Youtefa dapat diwariskan kepada berapa generasi mendatang.
Apakah perlu perubahan paradigma berpikir bagi pebisnis terhadap keberlangsungan lingkungan?
Ya, sudut pandang mesti dirubah, sehingga ada perubahan model menjadi bisnis yang ramah lingkungan. [] Alfonsa Wayap