suaraperempuanpapua.id—Pembangunan smelter pada dasarnya penting untuk membangun rantai nilai ekonomi bangsa dengan proses hilirisasi industri pertambangan yang di Indonesia dilegalisasi juga dengan Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012 untuk peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan mineral. Hal ini dijelaskan Dekan Fakultas Teknik Universitas Cenderawasih, Dr.Ir.Johni Jonatan Numberi, M.Eng.IPM kepada media ini Minggu, 17 Oktober 2021.
Menurutnya, peraturan tersebut mewajibkan perusahan pertambangan untuk membangun pabrik pemurnian dan pengolahan sendiri, menjadi barang jadi sehingga bisa terbangun rantai nilai ekonomi bagi investasi di daerah pertambangan yang tentunya memberikan dampak bagi tumbuhnya industri ikutan maupun industri pendukung.
Oleh sebab itu, kata dia, regulasi tersebut memberi peluang juga untuk dibangun industri pengolahan sendiri (smelter) di Papua melalui kontrak karya dengan PT. Freeport Indonesia di Timika sebab sejalan dengan visi pembangunan Nawacita Presiden Joko Widodo, pembangunan Indonesia dari pinggiran.
Dijelaskan Numberi, jika diamati secara baik, sesungguhnya pembangunan hilirisasi industri pertambangan dengan saham 51 persen itu untuk membangun rantai nilai ekonomi Indonesia dan dapat dimulai dari Tanah Papua. Apalagi dengan adanya Inpres No 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat dan Keputusan Presiden RI No. 20 Tahun 2020 tentang Tim Koordinasi Terpadu percepatan Pembangunan kesejahteraan di provinsi Papua dan Papua Barat.
Tentu saja, lanjutnya, hal ini dimaknai sebagai terobosan yang bersifat strategis (terpadu, tepat, focus dan sinergi) antara kementerian/lembaga dan pemerintah daerah melalui pembentukan tim koordinasi terpadu percepatan pembangunan kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat. “Koordinasi dan sinergitas tersebut menjadi kekuatan untuk membangun rantai nilai ekonomi Indonesia yang dapat dimulai dari Tanah Papua”, tegasnya.
Untuk itu, kata Numberi lagi, bahwa dampak rantai nilai ekonomi yang dapat dibangun itu, akan mampu mempercepat infrastruktur yang memadai di kawasan pertambangan dan daerah sekitar seperti kebutuhan energi untuk smelter, maka pemerintah harus mendorong rasio elektrifikasi di Papua (94 persen) dan Papua Barat ( harus naik dari 99 persen menjadi 100 persen rasio elektrifikasi, untuk memenuhi kebutuhan industri energi maka harus mendorong power plant baru dengan memaksimalkan potensi PLTA Mamberamo, PLTA Urumuka, PLTG Bintuni sebagai sumber energi terbaik di Indonesia dengan kapasitas power plant 1×10.000 MW tahap 1, sebagai kekuatan energi Asia Pasifik.
Menurutnya, Indonesia Power atau Papua Power Plant dapat dibangun dari sumber-sumber energi Papua melalui interkoneksi listrik Papua-Maluku dan Asia Pasifik.
Disebutkan bahwa energi dari Ujung Timur Indonesia dapat dibangun untuk mendukung pembangunan Smelter di Papua dan Papua Barat, misalnya Smelter peleburan dan pemurnian tembaga dengan sistem coper catoda membutuhkan energi sebesar 1×100 MW, Smelter pengolahan logam berat (TiO2) membutuhkan energi sebesar 3×25 MW, smelter untuk pengolahan dan pemurnian biji tembaga dengan kapasitas produksi 2.400.000 ton dengan kebutuhan pembangkit kapasitas terpasang 124 MW, sedangkan untuk Smelter biji besi 3.500.000 ton biji besi memerlukan listrik terpasang 120 MW.
Untuk itu, kata dia, jika smelter dibangun di Papua maka bukan PT. Freeport Indonesia saja namun ada 103 pemegang ijin usaha pertambangan (IUP) dari sektor pertambangan yang akan melakukan pemurnian mineral tambang sebagai sumber PAD dan DBH SDA yang berasal dari iuran tetap (land rend) (80 persen), provinsi penghasil, (16 persen), kabupaten penghasil (64 persen), begitu juga iuran eksploitasi/eksplorasi (royalty) provinsi penghasil (26 persen), seluruh kabupaten/kota dalam provinsi (54 persen), yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan persentase.
Kondisi ini, lanjutnya, belum dimasukan sektor industri penunjang seperti industri energi dan industri ikutan manufaktur lainnya dapat terbangun di Papua. Dengan begitu akan menjadi jalur yang baik untuk mendorong percepatan pembangunan Papua.
Kendati demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa ada pula tantangan investasi misalnya, jaminan kepastian hukum, jaminan keamanan investasi, ketersedian infrastruktur jalan, jembatan, bandara, air bersih dan lingkungan keberlanjutan di daerah kawasan industri, pemahaman masyarakat tentang pertambangan pembangunan berkelanjutan, dan penyiapan SDM lokal.
Untuk itu, kata Numberi, tantangan-tantangan ini dapat dilewati apabila perbedaan pandangan dapat disatukan dengan pemahaman untuk mencapai tujuan bersama yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
“kita harus mendorong pembangunan smelter di Papua, sebagai mata rantai nilai ekonomi Indonesia dari industrilisasi di Tanah Papua. Dengan demikian, Pembangunan Nawacita benar-benar terwujud dan menjadikan Papua sebagai garda terdepan bangsa menuju Gerbang Pasifik Indonesia Timur.*(gabriel maniagas)