SELAMA dua hari lalu diadakan Simposium Nasional dengan mengangkat tema Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan, yang diharapkan menjadi jalan pembuka dialog penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu seperti yang diharapkan oleh banyak pihak.
Simposium Nasional ini diselenggarakan oleh panitia bersama, berlangsung selama dua hari dan di hari pertama berlangsung 4 sesi dengan melibatkan berbagai unsur. Pembukaan dilakukan oleh Ketua Panitia Suryo Susilo dan Ketua Panitia Pengarah Agus Widjojo, diikuti dengan sambutan dari Menkopolhukam RI Luhut Panjaitan dan Sintong.
Pada sambutan pembukaan, Ketua Panitia Pengarah Agus Widjojo mengatakan tujuan Simposium Nasional ini untuk menempatkan peristiwa 1965 secara jujur dan membahas dengan efektif. Mengapa memakai pendekatan sejarah? Karena ini pendekatan yang komprehensif yang memunculkan sebab akibat. Simposium dipilih karena simposium ini tidak ekslusif; terjadi atas kerjasama masyarakat sipil dan pemerintah; mempertemukan pihak-pihak yang bertentangan dalam konflik; memberi keseimbangan antara sebelum dan sesudah 1965; pencarian pengungkapan kebenaran; berpusat pada konsepsi rekonsiliasi.
Metodologi yang digunakan bukan seperti pengadilan, tetapi yang lain. Simposium Nasional ini penting, mengingat bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat berdamai dengan masa lalunya.
Menkopolhukam RI Luhut Panjaitan juga memberi sambutan bahwa pemerintah RI akan menuntaskan pelanggaran HAM. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar tidak perlu dikasihani dan dapat menuntaskan masalah sendiri. “Kami tidak keberatan kalau asing datang untuk melihat prosesnya, tidak ada yang ditutupi”.
“Dalam perjalanan diskusi dua hari ini pasti akan ada pro-kontra. Tapi spirit kita adalah jangan berburuk sangka. Kita mencari apa yang terbaik. Saya berharap dalam pertemuan ini kita akan menghasilkan hasil-hasil yang positif karena kita harus berdamai dengan masa lalu. Tapi tidak ada pikiran untuk minta maaf ke sini dan ke sana, kami tidak sebodoh itu. Kami tahu apa yang akan kami lakukan – yang terbaik untuk bangsa ini. Saya tidak rela kalau kita diatur oleh negara lain, kita bisa menyelesaikan masalah ini sendiri”.
Ada empat sesi yang diadakan dalam Simposium Nasional ini, dengan menghadirkan narasumber dari berbagai lembaga. Topik yang dibahas dalam tiap sesi berbeda. Sesi satu misalnya, dengan narasumber Dr. Risa Permanadeli dan Dr. Limas Sutanto membicarakan mengenai ingatan kita tentang masa lalu dengan cara yang diharapkan beradab. Titik tolaknya pada kesadaran kesejarahan dan mengembangkan pengetahuan tentang diri kita selama ini, dan mengelola afek-afek primer sebagai manusia tetapi dalam pengungkapan yang lebih beradab.
Untuk itu diperlukan keberanian untuk menatap masa lalu. Risa Permanadeli mengatakan bangsa ini terus-menerus memelihara ingatan dan tragedi tanpa menyelesaikannya, dan ini akan tereproduksi kembali untuk anak cucu kita. Sementara Limas Sutanto mengatakan jiwa manusia mengenal tiga rasa primer yaitu takut, sedih, marah. Ketiga perasaan primer itu ada dan dapat membimbing kita untuk mengatasi bahaya atau ancaman, membimbing kita untuk memperbaiki ketidakadilan, dan melepaskan apa yang perlu dilepaskan. Dalam peristiwa 1965, saya tidak bisa membayangkan bahwa rasa sedih, marah, takut bisa membuat orang membunuh.
Sesi dua membicarakan mengenai dinamika politik menjelang Tragedi 1965 dengan narasumber Dr. Asvi Warman Adam, Dr. Sulastomo, Dr. Todung Mulya Lubis. Sesi tiga berbicara tentang dampak kemanusiaan dan psikososio-kultural dari tragedi 1965-1966. Dan sesi empat berbicara mengenai pola kekuasaan dan dinamika masyarakat Indonesia pasca tragedi 1965 dengan narasumber para pakar dari beragam keahlian.
Di Indonesia, kejahatan terhadap kemanusiaan di tahun 1965, telah menjadi fondasi bagi otoritarianisme selama 32 tahun. Sehingga masyarakat Indonesia setidaknya menderita beberapa hal berikut ini: 1) Runtuhnya sistem hukum dan kepercayaan publik terhadap institusi peradilan. 2) Hancurnya keberdayaan masyarakat di dalam berpartisipasi secara politik. 3) Hilangnya memori kolektif yang merepresentasikan fakta-fakta sejarah yang benar.
Oleh karena itu, kami menuntut negara untuk menebus segala kejahatan di masa lalu dengan: 1) Memberikan pengakuan dari negara atas pelanggaran HAM berat di tahun 1965-1966. Pengakuan tersebut dilakukan melalui permintaan maaf resmi kepada seluruh korban, keluarga korban dan bangsa Indonesia. 2) Memproses secara hukum segala kejahatan HAM yang terjadi termasuk peristiwa 1965. Hal ini penting untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap penegakkan hukum. Hal ini dapat dimulai dengan mendorong Kejaksaan Agung RI untuk melanjutkan proses yudisial yang mengacu dari hasil temuan penyelidikan Komnas HAM RI dengan kesimpulannya yang menyatakan telah terjadi kejahatan kemanusiaan. Dan menjadikan setiap testimoni korban dalam simposium ini sebagai fakta dan bukti pelengkap dalam proses yudisial.
Ketiga: membentuk Komisi Kepresidenan untuk pengungkapan kebenaran dan memulihkan memori kolektif bangsa tentang masa lalu. 4) Perawatan memori kolektif bangsa perlu dilakukan dengan mengintegrasikan fakta-fakta yang dihimpun melalui proses pengungkapan kebenaran kedalam pencatatan sejarah resmi, termasuk kedalam kurikulum pendidikan sejarah di segala institusi pendidikan. 5) Perawatan memori kolektif bangsa ini perlu juga dilakukan dengan membangun memorialisasi tempat-tempat bersejarah di mana terjadinya kejahatan di tahun 1965 dengan mendirikan monumen-monumen.
Keenam: Menjamin segala kejahatan HAM untuk tidak terulang lagi, dengan melakukan reformasi peradilan dan sektor pertahananan/ keamanan. 7) Melakukan tindakan aktif untuk menjamin perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak korban serta keluarga korban dalam hak kemerdekaan berkumpul, berpikir, berekspresi dan berpendapat, serta menghentikan segala bentuk teror terhadap para korban dan keluarga korban ’65. Diterapkannya asas persamaan di muka hukum, dan adanya jaminan keamanan terhadap para korban dan keluarga korban. 8) Mencabut semua kebijakan (peraturan perundang-undangan) di tingkat nasional maupun lokal yang sifatnya diskriminatif kepada korban dan keluarga korban ’65.
Kesembilan: Melakukan rehabilitasi umum oleh negara bagi semua eks tahanan politik 1965, termasuk rehabilitasi terhadap Presiden R.I. pertama, Soekarno. 10) Memberikan pemulihan yang efektif dan menyeluruh kepada korban dan keluarga korban. Pemulihan ini harus mencakup segala bentuk rehabilitasi, restitusi, kompensasi dan jaminan kepuasan yang sesuai dengan standar dan prinsip HAM yang diakui secara universal. 11) Menghapuskan segala bentuk impunitas di dalam kasus pelanggaran HAM manapun yang terjadi di Indonesia.
Hal-hal yang dipaparkan di atas penting untuk dijadikan bahan refleksi dan acuan bersama di akhir rangkaian kegiatan Simposium Nasional ini untuk kemudian disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia. (*). Dolorosa Sinaga. International People Tribunal 1965.