suaraperempuanpapua.id – MINGGU pagi, ketika itu cuaca di kota Jayapura, Provinsi Papua, mendung dan sedikit gerimis. Satu-persatu Umat Katolik, berjalan memasuki halaman Gereja Gembala Baik Abepura untuk mengikuti misa kedua pada pukul 9.00 pagi.
Misa dipimpin Pastor Paroki Gembala Baik Abepura, Pastor Barnabas Daryono, Pr. Usai misa pukul 10.20 pagi, umat mulai berjalan keluar gereja usai mengikuti misa.
Tampak di luar, tidak jauh dari pintu keluar sayap kiri. Ada dua orang pemuda, berdiri memegang foto yang tertempel pada kardus sepanggal. Bertuliskan, Jangan Merusak Dusun Kami. Satu kardus kecil diletakan di bawa kaki mereka. Bagi siapa saja bisa menyumbangkan. Aksi ini dinamakan Aksi Seribu.
Salah satu dari mereka, juga membagikan selebaran berisi narasi kecil tentang tujuan dari aksi tersebut. Isinya, memprotes Memorandum of Undertanding (MoU) terkait PT. Tunas Sawa Erma dengan Keuskupan Agung Merauke.
Minggu sorenya, Koordinator Aksi Seribu mengirimkan press rilis, yang isinya menyatakan: “aksi yang berlangsung hari ini di Gereja Katolik Gembala Baik Abepura, telah berjalan dalam kondisi yang tertekan. Dikarenakan pantauan polisi yang mondar-mandir di depan gerbang gereja.”
Satu pernyataan yang konotasinya, seakan-akan apa yang dilakukan polisi pagi itu. Seolah-olah sedang “mengintimidasi” aksi kedua pemuda tersebut. Sebab, dari pernyataan itu, menggambarkan ada gerak-gerik yang dirasa telah menggangu mental kedua pemuda itu. Mestinya, kehadiran polisi, justru memberi rasa aman. Namun justru mereka merasa terganggu akibat trauma-masa lalu mereka yang terus menghantui kedua pemuda ini.
Kita tahu bersama, sejarah panjang kepolisian yang hampir 30 tahun berada dibawah bayang-bayang kekuasaan Orde Baru. Ketika itu berada dalam satu lembaga Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Yang bergerak dibawah pengaruh militeristik.
Kekuasaan itu, turut mempengaruhi trauma yang panjang bagi generasi Papua. Namun, kini, setelah tahun 1998, berbagai tuntutan melalui restrukturisasi ABRI. Polri berdiri sendiri. Disitulah peran serta polisi di tengah kehidupan sosial, bermasyarakat benar-benar dirasakan rakyat.
Pendekatan terhadap masyarakat dijamin dalam Pasal 13 Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menegaskan tugas pokok kepolisian adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Yang diharapkan dari masyarakat adalah kehadiran polisi membuat rasa aman bagi masyarakat. Terutama pemuda di Papua, terkadang melihat polisi sebagai bagian dari “musuh.”
Namun, tidak perlu terlalu berlebihan menilai. Selagi semua yang dikerjakan demi kepentingan rakyat banyak. Itu yang dikatakan Inspektur Jenderal Polisi Paulus Waterpauw, yang kini diangkat menjadi Kepala Badan Intelijen dan Keamanan (Kabaintelkam) Markas Besar Kepolisian RI di Jakarta.
Paulus Waterpauw ketika menjabat Kepala Kepolisian Daerah Papua menyatakan kami siap dikoreksi, terutama apabila pihak kepolisian membuat kesalahaan dan perlu koreksi, kami siap dikoreksi. Jangan takut katakan benar dan salah.
Paulus juga meminta pemuda harus bisa berperan aktif dan melakukan prosedur apapun yang ingin dikerjakan, harus dilakukan dengan baik. Buat program kerja yang dapat menyuarakan kepentingan masyarakat.
Lakukan prosedur organisasi dengan baik. Buat program kerja yang dapat menyuarakan kepentingan banyak orang. Jadilah pemuda yang berani menyatakan kritik jika ada yang tidak benar. Terutama, apabila pihak kepolisian membuat kesalahan dan perlu dikoreksi, kami siap di koreksi. Jangan takut katakan benar dan salah.
Banyak ruang bagi pemuda untuk dapat mengkritisi kinerja aparat pemerintahaan dalam membangun tanah Papua. Jadilah, pemuda yang dapat mengkritisi situasi melalui ruang-ruang media yang ada. Berikan masukan, saran dan pendapat di media. Buat opini, sekarang sudah banyak media, bisa dibaca dan menjadi bahan koreksi.
Peran polisi di Papua dari waktu ke waktu menunjukan perubahan pendekatan yang cukup memberikan ruang gerak dan rasa aman masyarakat terjaga. Yang diharapkan adalah pendekatan persuasif dan humanis. Itulah yang terjadi di Papua dan mulai mengalami perubahan dalam beberapa waktu terahir ini.
Dari banyak kejadian yang terjadi dan dicatat dalam berbagai pemberitaan di media massa, terutama yang berurusan dengan pemuda. Banyak sekali. Semua demi kepentingan bersama. Pendekatan dengan kepolisian sering disalahartikan. Misalnya, itu terjadi pada Minggu,14 Februari 2021 di Gereja Gembala Baik Abepura.
Dalam pernyataannya, Melvin mengatakan aksi seribu yang dilakukan di depan Gereja Katolik Abepura seperti diintimidasi. Tapi mereka tidak melakukan aksi yang berkaitan dengan politik. Ini aksi murni solidaritas kepada pihak Keuskupan Agung Merauke dalam kasus PT. Tunas Sawa Erma.
Tonni, seorang pemuda di Sugapa mengatakan dari sekian kasus yang terjadi selama ini di Sugapa, polisi menggunakan pendekatan persuasif dalam menyelesaikan kasus. “Kami di Sugapa, kalau lihat tentara, takut. Tapi, kalau ketemu polisi di jalan, kami tidak takut. Kami merasa nyaman dengan polisi daripada tentara”.
Selain pemuda. Kerja-kerja pers di lapangan juga sering mengalami tindakkan represif oleh oknum polisi. Bentrok tak terelakan akibat salah paham, khusus di Papua. Seperti yang terjadi saat ada aksi. Aksi damai yang dilakukan sekelompok warga kerap dianggap berseberangan dengan ideologi Pancasila.
Keadaan ini membat para jurnalis khusus di Papua sering mengalami dilemah dalam meliput. Misalnya, karena tidak menggunakan kartu pers saat meliput, atau kartu pers tersimpan dalam tas.
Terkadang polisi yang bertugas mengamankan jalannya aksi damai, terkadang sulit membedakan mana jurnalis dan bukan – yang sering berujung pada perlakuan kasar.
Sesungguhnya, para jurnalis bekerja sesuai Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Asas kebebasan pers. Wajib menggunakan tanda pengenal yang digantung—kelihatan. Bukan disimpan dalam tas.
Para jurnalis sering menyalahkan pihak polisi. Perlakuan yang kurang baik sering membuat salah persepsi di antara kedua belah pihak. Pekerja pers dan oknum polisi di lapangan.
Tugas utama polisi adalah mengayomi dan melindungi. Melalui tema, ”Peran Polisi di Papua yang Humanis dalam Memberikan Pelayanan kepada Masyarakat”, ini membutuhkan peran serta semua pihak demi terwujudnya kerja-kerja polisi yang lebih humanis dalam melayani masyarakat.
Alfonsa Wayap