suaraperempuanpapua.id—Hari semakin panas, matahari bersinar terik, terasa membakar kulit jika berlama-lama tanpa pelindung. Panasnya hari seakan membakar semangat Debisila Pigome menunggui jualannya. Sejak pagi ia telah menggelar tikar dibawah tenda putih bertuliskan astra motor. Tenda itu disebutnya payung. Sendiri ia bersila di karung plastik bekas beras. Ia mengadu keberuntungan di tengah gempitanya Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua.
Di tepi jalan poros Sentani-Abepura, ia mengadu untung sambil menyulam sebuah noken. “selamat siang”, TSPP menyapa membuka pembicaraan. “mau beli apa”, tanya Debi.
Setelah memotret, lalu berkenalan dan menjelaskan maksud TSPP untuk membuat liputan berita. Pembicaraan dimulai setelah Debi mengiyakan.
Seperti pedagang kebanyakan, umumnya diawali dengan tawar-menawar. Debi menawarkan noken-noken yang digantungnya. Ia memegang sambil menyebut harga setiap kategorinya. Tampaknya ia telah mahir dengan kebiasaan bergadang. Menawarkan produk dengan berbagai pilihan harga.
Debi wanita belia, asal Kabupaten Deiyai, mulai bercerita perjuangannya membuat noken. Baginya, noken adalah kehidupan. Dari Noken ia dapat menemukan jalan keluar atas beragam kesulitan hidupnya. Terutama mememnuhi kebutuhan kuliahnya.
Dari penuturannya, saat ini ia sedang menyelesaikan studi pada Sekolah Tinggi Teologi (STT) Walterpos di Pos 7 Sentani. “saya sudah semester akhir, jadi jualan untuk tambah-tambah biaya penyelesaian studi”, ujarnya
Ceritanya menarik, karena dalam sehari ia mampu menyelesaikan satu sampai dua buah noken berukuran sedang. “Kalau tidak ada kesibukan dengan tugas-tugas studi, saya bisa selesaikan satu sampai dua noken”, kisahnya.
Meski sibuk juga dengan jualannya, Debi tetap optimis bahwa dirinya mampu menyelesaikan segala sesuatunya, terutama studinya dengan baik.
Sekadar untuk menambah biaya hidupnya, Debi melihat peluang baru untuk meningkatkan pendapatannya dari even PON XX Papua tahun 2021.
Menurutnya, PON XX Papua ini sesuatu yang luar biasa dan membuat Orang Papua Kagum karena kemegahan dan kemewahannya, tapi PON ini harus memberi dampak positif dan ekonomis bagi masyarakat.
Untuk itu, Debi bersama rekan-rekannya berjuang keras untuk menyulam noken dengan segala kemampuannya. Alhasil, mereka berhasil menjahit berbagai bentuk dan ukuran noken dan menjualnya.
Awalnya mereka kesulitan mendapatkan tempat untuk berjualan bersama, karena posisi strategis di depan Stadium Utama Lukas Enembe (Sule) tidak bisa mereka dapatkan karena kalah bersaing, lobi dan negosiasi, termasuk modal rupiah untuk menyewa tempat jualan.
Akhirnya Debi dan teman-temannya terpisah, “trapapa om, yang penting kita bisa jualan”, ujarnya pada TSPP.
Debi berjualan di depan jalan masuk Kalkhote, sisi timur Stadium Utama Lukas Enembe. Sedangkan rekan-rekannya kebagian lokasi yang cukup jauh dari pintu utama stadium ke arah Barat di sisi jalan poros Sentani dari Abepura. Tepatnya, di samping jembatan utama yang menghubungkan Sentani Abepura dari kampung Harapan.
Di depan jalan masuk Kalkhote, Debi harus merogoh koceknya sebesar Rp 500 ribu untuk menyewa tempat berjualan di depan tempat orang. “Saya baru bayar Rp 200 ribu, nanti sisanya setelah PON selesai”, ujarnya.
Walau terpisah, Pigome tetap optimis karena selama beberapa hari ini, jualannya sudah dibeli orang. “Ada orang dari Papua yang beli se harga Rp Rp500.000 dan ada juga orang dari luar Papua (kontingen) yang membeli. “Mereka membeli beberapa noken saja”, sambungnya.
“saya jual noken, harganya beda-beda, ada yang harga 450 ribu, 350 ribu, dan 100 ribu, sesuai ukuran, tuturnya.
Patokan harga jual ini disesuaikan dengan lamanya pengerjaan noken. Menurutnya, dalam sehari ini mampu menyelesaikan 2 noken berukuran sedang. Sedangkan noken dengan ukuran besar, dikerjakan seharian. Itupun kalau tidak ada pekerjaan lainnya.
Oleh sebab itu, dalam kaitannya dengan penetapan harga jual, Debi Sila Pigome mematoknya demikian. “Mungkin bagi orang lain, terlalu mahal, tapi bisa ditawar supaya sama-sama enak”, katanya.
soal bahan noken dari serat kulit kayu. Dibawa langsung dari daerah asalnya, di Kabupaten Deiyai. Disana bahannya cukup tersedia. Dikeringkan dari serat kulit kayu kemudian dipintal menjadi benang untuk menyulam noken.
“itu untuk noken asli dari serat kulit kayu, tapi ada juga noken yang bahan dasarnya dari benang nilon, buatan pabrik. Benang ini bisa berwarna-warni, sehingga bebas memilih warna. “jadi untuk noken dari benang bisa macam-macam warnanya.” Urainya detail.
Disini sebenarnya, apa yang dilakukan seorang Debi Pigome ini, sebagai kreativitas anak muda yang patut diberi apresiasi, karena mampu berjuang keras tapi cerdas menghidupi dirinya di dengan apa yang dimilikinya. Talenta.
Berbekal kemampuan menyulam yang didapatkan dari kakaknya ia mampu kelola untuk menolong dirinya. Tentu saja tindakannya ini dapat menjadi inspirasi bagi orang lain.
Kita berharap, momentum PON XX Papua ini dapat memberi nilai tambah bagi orang Papua, secara umum, khususnya dari perspektif ekonomi mereka dapat merasakan nikmatnya kemegahan dan kemewahan PON XX sehingga spirit Torang Bisa semakin nyata bahwa kitorang bisa melakukan sesuaty yang lebih besar asalkan diberi kesempatan dan dukungan. Semoga PON XX Papua menciptakan sejahtera yang rasanya nikmat bagi Orang Asli Papua..*(gabriel maniagasi)