suaraperempuanpapua.id—Jurnalisme dalam dipandang cukup efektif untuk menyampaikan informasi kepada publik dalam kaitannya dengan proses eduksi bagi generasi baru di erak kekinian. Mengingat pentingnya jurnalisme damai maka dilakukan pelatihan sehari bagi generasi muda melalui kegiatan pelatihan Jurnalisme Damai sebagai alternatif dalam peliputan konflik di Papua, baru-baru ini di Dosay, Kabupaten Jayapura dengan pemateri Alfonsa Wayap dari Peace Literacy Institut Indonesia (PLII) wilayah Papua.
Kegiatan ini dihadiri lebih dari 30 peserta—sebagian diantaranya adalah mahasiswa-mahasiswi yang tergabung dalam Pemuda Baptis West Papua Wilayah Tabi.
Di awal kegiatan disampaikan terkait pentingya mengenal diri sendiri. Selanjutnya fokus belajar yang terkait dengan kaidah Jurnalistik serta cara membuat berita foto. Keduanya erat kaitannya dengan lieterasi –melatih ketajaman pengamatan, menulis dan membaca.
Kegiatan Pelatihan ini, Alfonsa sebagai pegiat literasi mengingatkan kepada peserta supaya lebih banyak meluangkan waktu dalam kegiatan literasi (membaca dan menulis).
“Sebab untuk bisa menulis dengan baik, peserta harus memperbanyak membaca. Entah itu buku, koran atau tulisan di media daring. Literasi perlu terus dikembangkan, jangan hanya sampai dipelatihan ini saja tetapi melek literasi,” paparnya.
Berbicara soal Jurnalisme Damai, ini biasanya dilakukan oleh orang yang anti kekerasan. Sebab, “Kekerasan terjadi akibat salah informasi atau hasutan dari pihak lain sehingga berujung pada tindakan kekerasan,” papar Alfonsa.
Melalui pemaparannya disampaikan soal teori Jurnalisme Damai yang dijadikan bahan dalam penyampaian materinya. Itu bermula dari Profesor Johan Galtung yang melakukan studi perdamaian—Direktur Transcend Peace dan Development Network—ketika itu mulai diperkenalkan kepada publik, 1970.
Dengan konteks Papua, Jurnalisme Damai penting sekali dilakukan khususnya dalam peliputan di wilayah-wilayah konflik bersenjata di Papua. Kebutuhan hari ini dan kedepan harus dilakukan generasi Baptis yang ikut pelatihan ini,”katanya pada kesempatan itu.
Jurnalisme Damai sebagai alternatif peliputan konflik di Papua. Pasalnya, lebih jurnalis soal sosial politik (Sipol). Padahal, di Papua bukan saja soal Sipol, masih banyak isu liputan lain soal Ekosb dan lainnya.
Tulisan yang disajikan ke publik memiliki dampak positif dan negatif.
“Di sini, mengapa saya katakana apa hubungan kekerasan dengan pemberitaan? Konflik akan diesploitasi hanya untuk menaikan reting pemberitaan media tertentu atau koran cetak laku terjual. Tanpa disadari, pemberitaan itu telah mendiskreditkan satu golongan. Dan, ini merupakan gunung es yang setiap saat mengancam keselamatan media atau penulis itu sendiri,” tutur Alfonsa.
Meliput di wilayah konflik, sebaiknya peliput juga harus bisa melihat konflik secara menyeluruh dan menggali proses terjadinya konflik. Dalam meliput konteks liputan Jurnalisme Damai, peliput wajib menentukan sudut padangan liputan di luar dari konflik. Misalnya, menyoroti sisi lain korban konflik yang adalah warga sipil. Hak-haknya diabaikan.
Di tengah materi dijelaskan bahwa,” Merekalah yang terkena dampak konflik politik. Entah disadari atau tidak? Karya-karya jurnalistik yang terus menyoroti kekerasan juga bisa berdampak pada trauma bagi pembaca dan terlebih korban dan keluarganya. Serta trauma kolektif.”
Selain itu, akibat lain dari liputan konflik kepada pembaca berita. Ada juga yang merasa jenuh akan sajian informasi kekerasan dan konflik yang berkepanjangan.
Kata Alfonsa,”Disitulah pentingnya liputan Investigasi Jurnalisme Damai. Kedepan, karya-karya Jurnalisme Damai merupakan alternatif pilihan masyarakat.”
Diakhir sesi Naomi dan Boni mewakili perserta mengaku,” Dalam pelatihan ini ada hal baru yang kami pelajari yaitu tentang Jurnalisme Damai. Kami sering dengar hanya seputar jurnalistik atau jurnalisme, saja. Setelah mendapat pemaparan dari pemateri, baru kami paham. Pentingnya literasi dan memahami isi konten produk Jurnalisme Damai. Begitu juga dengan dunia menulis yang begitu luas dan dapat mengugah pembaca serta warga dunia,” ujar keduanya.
Dari materi Jurnalisme Damai hingga berita foto yang juga dipaparkan pemateri. Ujar keduanya,” Dengan melihat berita foto kekerasan dalam konflik, akan membentuk opini buruk dalam ingatan kami. Dan cara lain melalui jurnalisme damai ini, kami rasa penting. Karena, kami berada di daerah konflik.”
Ketua Pemuda Baptis Wilayah Tabi, Patinus R. Wenda kepada media ini, materi dari PLII (Alfonsa) yang juga sorang jurnalis Perempuan Papua.
”Kami mengapresiasi telah meluangkan waktu bersama kesederhanaan kami. Dia telah berbagi ilmu kepada generasi muda Baptis di Tanah Tabi. Dengan muatan materi Jurnalistik Perdamian. Materi ini telah membuka wawasan peserta. Sebab, sudah lama sekali, kami telah dibangun dengan konstruksi informasi pemberitaan yang ekstrim. Kami terus-menerus mengonsumsi itu dan sampai pada pembentukan cara pandang kami generasi muda. Maka, Jurnalisme Perdamiaan secara jujur dengan tenang, itu yang diharapkan pembaca,”kesannya.
Dalam kesempatan itu, Alfonsa berpesan kepada peserta usai kegiatan ini, pemuda jadilah agen perdamaina di mana saja Anda tinggal dan belajar. Isilah waktu selama berkuliah di kota studi, Jayapura. Caranya, terus melatih diri dengan berliterasi,”pesan Alfonsa diakhir pelatihan. []AJW