suaraperempuanpapua.id—KONFRLIK Kepentingan yang berlarut-larut di Kabupaten Intan Jaya, Papua, tak pernah ada titik terang antara kedua belah pihak TNI-Polri dan Tentara Pembebasan Papua Barat (TNPB). Kontak senjata kembali terjadi di Kampung Yokatapa, Distrik Sugapa, pada malam hari sekitar pukul 20.WIT (Selasa, 26 Oktober 2021).
Letak Kampung Yokatapa berada di bawa kaki bukit. Sementara TNI-Polisi berada di bukit. Keterangan seorang pemuda, Kaleb kepada suaraperempuanpapua.id.
“Malam itu, warga yang tinggal dalam keheningan malam. Tiba-tiba dikagetkan dengan bunyi tembakan dari arah bawa oleh TPNPB ke arah Pos TNI-Polisi. Terjadilah kontak senjata. Warga dikagetkan dengan rentetan tembakan yang dihambur dari atas bukit ke rumah-rumah penduduk yang berada di dataran rendah.”, ujarnya.
Akibat kontak tembak itu, dua orang balita, Nopelius Sondegau (usia dua tahun) dan Yoakim Majau, lima tahun terkena peluru. Keluarga sempat mau membawa kedua anak ke puskesmas setempat. Dalam situasi panik. Masih ada rasa trauma. Sebelumnya, pernah terjadi penyiksaan hingga pembunuhan terjadi di puskesmas terdekat.
“Dalam kondisi sepeti itu, saya yakin, tidak ada petugas kesehatan yang mau melayani. Yoakim masih bisa bertahan. Sedangkan kondisi si kecil Yoakim dari foto yang terlihat. Perutnya terbuka. Dalam gendongan ibunya. Malam itu, Nopelius harus mengembuskan napas—meninggal,” kata Kaleb.
Sementara Yoakim dievakuasi menuju Timika untuk menadapat perawatan.
Jenazah Nopelius di kubur dipemakaman umum yang berada di belakang Gereja Katolik,Stasi Agapa. Kejadian tesebut membuat sebagian besar warga yang ada di kampung Yokatapa dan Wantoga memilih mengungsi ke halaman gereja di pusat Stasi Agapa.
Menyikapi peritiwa itu, Ketua Kelompok Kerja Perempuan (Pokja) Majelis Rakyat Papua (MRP),Ciska Abugau menuturkan, Balita, Nopelius meninggal, dia dibunuh karena persoalan orang “besar. (Sabtu,30 Oktober 2021).
“Begitu mamanya berteriak kepada saya, saya tidak punya daya lagi untuk berbicara. Hanya kepada Tuhan saja, kami serahkan persoalan ini dan balita Nopelius meninggal dan yang satunya, anak Yoakim dalam perawatan medis di Timika.”
Menurut Ciska, sepanjang kasus kekerasan yang berkepanjangan, baru terjadi dan mengorbankan anak bayi hingga meregang nyawa. Diakui, pemangku kepentingan di Papua, termasuk MRP, tidak bisa berbuat apa-apa.
Ciska sebagai perempuan Papua mewakili kaum hawa Papua yang berada di wilayah konflik. Sungguh sangat sedih ketika mendengar kabar duka sanak saudaranya ditembak, mati. Ada juga yang mendapat penyiksaan fisik—hingga meregang nyawa.
“Hati dan perasaan saya seakan tak berberdaya lagi. Hanya dirundung perasaan duka yang merundung sendi-sendi kehidupan orang-orang”kecil” di wilayah konfilik, Intan Jaya. Saya hanya bisa berdoa dan menangis,”tutur Siska dengan suara bercampur sedih.
Abugau menyatakan jika konflik bersenjata di Intan Jaya memang disebabkan kepentingan Indonesia menambang emas di Blok Wabu, maka seharusnya rencana penambangan itu dibicarakan bersama semua pihak.
Yang menjadi pertanyaan Ciska adalah penyebabnya apa yang melatari sehingga konflik terus bekepanjangan di Intan Jaya.
Ciska mengemukakan, jika itu disebabkan lantaran pertambangan Blok Wabu. Menurutnya, sebaiknya, semua pihak yang berpekentingan duduk bersama rakyat dan bicara tentang Blok Wabu.
Yang dikhawatirkan adalah masyarakat akan terus menjadi sasaran konflik kepentingan. Dan itu berdampak pada semua akses. Mulai dari pendidikan, kesehatan, ekonomi tidak berjalan. Dampak lain, warga sipil merasa tidak nyaman dan memilih untuk pergi ke hutan.
Konflik bukannya meredah. Tapi, kita lihat hari ini (29-30 Oktober 2021) malah bertambah “panas.” Situasi terkini di Intan Jaya. Saya katakana,situasi tidak kondusif. Membuat masyarakat ketakutan.”
Menyimak berita media CNN Indonesia, disebutkan, dalam beberapa hari terakhir eskalasi keamanan di Bumi Cenderawasih(Tanah Papua) memang kembali memanas.
Pihak Polisi mengkonfirmasi bahwa seorang bayi bawah lima tahun (balita) meninggal dan menjadi korban dalam kontak senjata di kawasan Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua (Selasa 26 Oktober 2021).
Menurut Kombes Ahmad Musthofa Kamal selaku Kabid Humas Polda Papua menerangkan bahwa KKB semula melakukan penembakan ke Pos Koramil dan Polsek Sugapa. Sehingga, personel yang bertugas memberikan tembakan balasan hingga memicu kontak senjata.
Dari sisi hukum, Direktur LBH-Papua, Emanuel Gobai menegaskan mengenai peristiwa tertembaknya kedua balita di Intan Jaya. Pihaknya menilai, negara gagal lindungi hak-hak anak dalam situasi konflik bersenjata di Papua.
Kepada Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) segera lakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak dalam situasi konflik bersenjata sesuai perintah dalam isi pasal 76 huruf a dan Pasal 59 ayat (1) serta Pasal 60 huruf a, UU Nomor 35 Tahun 2014 Di Papua (Intan Jaya).
Hak anak juga menjadi kewajiban sesuai dengan ketentuan “negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati Hak Anak” sebagaimana diatur pada pasal 21 ayat (2), UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Atas dasar itu, sehingga perlindungan terhadap hak hidup anak dalam konflik bersenjata menjadi kewajiban hukum negara. Melalui pemerintah pusat, Provinsi Papua, pemerintah daerah kabupaten dan kota.
Berdasarkan pemberitaan dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi banyak kasus pengungsi yang dialami oleh masyarakat sipil papua baik di Kabupaten Nduga (2018), Kabupaten Intan Jaya (2019 – 2020), Kabupaten Mimika (2020), Kabupaten Puncak Papua (2021), Kabupaten Maybrat (2020), Kabupaten Tambrauw (2021), Kabupaten Pegunungan Bintang (2021) dan saat ini yang sedang terjadi di Intan Jaya (Oktober 2021). Dari informasi yang diperoleh jumlah pengungsi yang berusia anak-anak jumlahnya sangat tinggi.
Namun, kata Emanuel, sampai saat ini belum ada satupun upaya yang dilakukan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia untuk melakukan pengawasan terhadap Pelaksanaan Perlindungan dan pemenuhan hak anak dalam situasi konflik bersenjata.
Emanuel menerakan,“secara hukum perlindungan anak dalam situasi konflik bersenjata merupakan tanggungjawab negara berdasarkan perintah ketentuan “Sesuai dengan kewajiban-kewajiban mereka menurut hukum humaniter internasional untuk melindungi penduduk sipil dalam konflik bersenjata.”
Maka, negara-negara pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin perlindungan dan pengasuhan anak-anak yang dipengaruhi oleh suatu konflik bersenjata. Sebagaimana itu diatur di pasal 38 ayat (4), Konvensi tentang hak-hak anak yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia kedalam Kepres Nomor 36 Tahun 1990 tentang pengesahan Konvensi mengenai hak-hak anak.
Secara teknis perlindungan anak dalam situasi konflik bersenjata yang harus dilakukan oleh pemerintah telah diatur dalam ketentuan “pemerintah, pemerintah daerah dan lembaga negara lainnya.*(Alfonsa Wayap)