suaraperempuanpapua.id—Ya, sekilas kalimat itu dimunculkan dari para pengunjung yang mampir di sebuah pondok berukuran kecil yang menjajakan makanan dan minuman ringan. Di mata jalan Doyo Lama Kemiri, belum lama ini. “mau beli apa”, tanya Sarah Nisaf (40 tahun ) wanita paruh baya pemilik usaha kecil sederhana itu.
sekilas pondoknya tak beda dengan kebanyakan pondok pinang di sepanjang jalan tersebut. Yang berbeda hanyalah asesoris budaya yang melingkar menghiasi atap kedai. Ada nuansa kultur Sentani. “asesoris ini dibuat dan diberikan oleh seorang ondoafi, maka pondok pinang itu disebut ”Kedai Putri Tabi”. “Disini ada aneka minuman ringan, mau yang biasa atau dingin tinggal pilih saja” tawarnya.
Memang sederhana pondoknya tapi ada aneka minuman dingin yang dibutuhkan pada saat hari sedang terik-teriknya semuanya tersedia dalam box putih yang dilakban krem tepat di depan kedai dengan tiga jenis minuman diatasnya sebagai pajangan. “itu contoh saja, yang dingin ada dalam cool box” kata dia menjelaskan.
Di belakang box itu ada jejeran botol minuman air mineral dan minuman lainnya seperti teh pucuk, orange dan beberapa jenis minuman, di sebelahnya ada beberapa buah botol madu produk lokal yang juga diatur sama rapinya bersisian dengan sejumlah kemasan kopi biji dalam ukuran se-kilo dan di sisi yang lain ada tumpukan pinang. Cukup rapi ditata sehingga menarik perhatian pengunjung.
Siang itu, ada beberapa orang mampir membeli minuman. Biasalah, obrolan “warung kopi”. “Disini ada jual kopi juga” tawar Sarah. Iapun menyebut beberapa pilihan rasa, seperti kopi susu, kopi hitam dan pilihan rasa yang menurutnya biasa saja seperti pada warung-warung kopi atau café.
Tiba-tiba ada pembeli yang nyelutuk, “Ada kopi rasa cinta,?”ujarnya. “Ada, disini ada kopi rasa cinta!”, ujar Sarah.
Gurauan itu, memecah kekakuan, keakrabanpun terjadi diantara mereka. Dari dialog singkat itu, menunjukan Sarah Nisaf cukup memahami psikologi pembeli. Sehingga iapun merespons kelakar pembeli dengan gurauan yang berujung keuntungan berbisnis.
Sarah sendiri pernah mengecap pendidikan tinggi, ia lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIPER) Santo Aquinos Kemiri, Sentani jurusan Sosial Ekonomi (sosek) dan pernah juga mengenyam pendidikan magister ekonomi dan bisnis pada Universitas Yapis Papua.
Berbekal ilmu itulah ia memulai merintis bisnis pada skala mikro. Baginya bisnis itu dimulai dengan hal-hal kecil. “Small Scale Bussiness” bisnis kecil-kecilan. “saya melihat bahwa ada peluang meski kecil tapi kalau dikelola secara baik akan memberi dampak yang lebih besar. Asalkan dilakukan dengan sabar, tekun dan telaten”, tandasnya.
Menurutnya, bisnis ini dimulai sejak tahun lalu (2020) ketika ia hendak mengurus keperluan administrasi kependudukannya ke kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Kantor Bupati Jayapura di Gunung Merah. Disana ia melihat ada orang berjualan air mineral, ia pun menghampiri sambil bertanya-tanya. Dari obrolan itu, ia terinspirasi untuk berbisnis.
Iapun mencari informasi sana-sini, akhirnya niatnya terpenuhi, dengan modal seadanya ia pun membeli beberapa air mineral dan memulai usahanya di sekitar lokasi kantor tersebut. Walau baru beberapa bulan ia merasa harus bisa mencari lokasi lain setelah hari kantor usai.
Ia kemudian hijrah ke jalan Doyo lama, berbekal mobil Daihatsu Xenia Abu-abu miliknya, ia pun mencari lokasi baru. Disinilah kemudian ia mendapatkan “lokasi baru”nya setelah kantor bupati. Bekal ilmunya dari kampus, ia pun mengembangkan dua unit usaha mikronya. Satunya dengan usaha yang sama ia jalankan dengan “karyawan”nya di kantor bupati, sedangkan di Doyo lama dijalankan sendiri ditemani sang suami, Maikel Yaas yang juga sedang membuka usaha bengkelnya. “jadi disini ada kolaborasi usaha, orang ke kedai untuk beli air minum, mereka akan lihat di sebelah kedai ada usaha bengkel yang menawarkan jasa service ringan, seperti perbaiki kaki-kaki mobil, ganti oli, dan menerima perbaikan kendaraan ketika mogok atau mengalami kemacetan” ujar Maikel mempromosikan usahanya.
Dikemukakan Maikel, kalau ada orang ke bengkel saya, kebetulan mereka menunggu kendaraannya diperbaiki, maka mereka bisa membeli air minum atau makanan ringan yang ada di Kedai Putri Tabi. “itu yang sa bilang kolaborasi, untuk saling menguntungkan dalam usaha kita”, jelas Maikel.
Panasnya hari, membuat orang mampir sekadar membeli air minum dan beberapa produk yang ditawarkan. Sambil melayani pembeli, Sarah pun mencoba menawarkan semua jenis produk yang ada di hadapannya. “Bisa coba kopi jenis arabica asli dari wamena, rasanya nikmat dan sedap di lidah”, ujar Sarah.
Hiruk pikuk kendaraan mondar-mandir menuju arena PON XX Papua di Distrik Waibu memberi berkah bagi Sarah dan suaminya, Maikel Yaas dengan usaha yang berbeda di lokasi yang sama.
Tiga buah venue megah ada di distrik ini, yakni venue Rugby dan softball di area kompleks TNI AURI di Kemiri, venue lapangan tembak dan gedung olahraga (GOR) HMS di Toware telah menjadi aliran rejeki untuk keduanya. “Orang yang ingin menonton PON di tiga venue ini telah menjadi pelanggan kami. Mereka membeli hampir semua produk kami, dan khususnya rokok dan air mineral”, kata dia.
Kembali ke obrolan-obrolan ringan tadi, “Kopi Rasa Cinta” ternyata tidak sesederhana itu, sebab dapat ditafsirkan dalam beragam cara dan sudut pandang. Namun dari obrolan tak disangka itu, mengingatkan pada sebuah buku berjudul “Its not about the coffee” yang pernah laris pada jamannya yang ditulis oleh seorang mantan CEO Sturbuck. Dalam buku itu dikisahkan tentang bagaimana perusahaan besar sekelas Sturbuck bisa eksis dengan usaha kopinya. Kopi rasa cinta sebenarnya bukan soal kopi doang ada banyak aspek yang melekat disana, semisal, hal melayani dengan ramah, sopan santun, senyum, persahabatan, kejujuran, dan aspek lainnya. Kopi sturbuck, sama dengan kopi pada umumnya, hanya biji-biji kopi biasa, tapi apa yang membuat Sturbuck bisa tumbuh dan berkembang menjadi sebuah perusahaan berskala besar dan memiliki cabang di seluruh dunia? Tentu dari sana bisa diambil hikmah dan pelajaran penting tentang berbisnis. Bukan soal sederhana tentang “kopi” dan “cinta” semata. Ada nilai-nilai kehidupan, seperti melayani, mengasihi, menolong orang lain, kerja keras, ketekunan, kesabaran, keuletan, membangun persahabatan, keramahan, kesetiakawanan, termasuk ketulusan dan kejujuran.* (gabriel maniagasi)