suaraperempuanpapua.id—Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jayapura, Papua melegalkan adanya Perkumpulan Bantuan Hukum Pers (PBHP) Tanah Papua. PBHP hadir diperuntukan bagi semua pekerja pers ;cetak, elektronik dan daring yang tersebar di Papua dan Papua Barat. Dengan momen Hari HAM se-Dunia,10 Desember 2021 bertempat di Hotel Mercure, Jayapura, Papua.
Ketua AJI Jayapura,Papua, Lucky Ireeuw dalam penyampaiannya mengatakan, “ini merupakan pergumulan panjang dan hari ini menjadi tonggak sejarah bagi kebangkitan penegakan keadilan dan HAM bagi pekerja pers di Tanah Papua.”
Dari dokumen AJI yang pernah ditulis dalam sebuah buku berjudul,”Sekelumit Wajah Pers di Papua” yang ditulis oleh tim Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jayapura, Papua tahun 2003. Merupakan catatan penting tentang perkembangan pers di Papua yang mengalami pasang-surut. Kalau dulu diliputi idealism perjuangan, kini bagaimanan?
Peristiwa 20 tahun lalu (2001) masih hangat dalam ingatan AJI. Dimana kasus yang pernah dialami mantan Pimpinan Redaksi Koran Papua Post, Abdul Munib. Tulisan yang diterbitkan yang kemudian menuai kontra. Judul,”Misteri Uang Sogokan buat Pak Mentri” pada Mingguan Irja Post berbentuk tabloid mingguan, edisi nomor 23, Tahun I, tanggal 6-12 September 1999. Sebelum menjadi Harian Papua Post.
Munib kemudian diseret ke pengadilan Negeri Jayapura oleh yang melapor atas dugaan mencemarkan nama baik Budi Sinulingga, Kanwil Departeman Transmigrasi dan PPH Papua.
Melalui proses persidangan yang panjang, akhirnya pada Kamis,15 Februari 2021. Majelis Hakim I Wayan Sosiawan (ketua),J.V.Tahantokman, dan E.H.Sinaga benar- benar membuat kejutan: memutuskan atas dakwaan mencemarkan nama baik Budi Sinulingga, Kanwil Departeman Transmigrasi dan PPH Papua.
Suaraperempuanpapua.id mengutip kata Munib begini,” kerinduan kita terhadap kehadiran hukum yang adil, benar-benar saya rasakan hari ini-red. Merindukan kemerdekaan pers di era mendatang. Menurutnya, selam berpuluh-puluh tahun pers tidak bisa bebas bersuara. Orde lama dan orde baru setali tiga uang dalam membelenggu pers.”
Dengan berbagai dinamika yang terjadi di Indonesia dan khususnya di Papua. Sepak terjang perjalanan AJI yang lahir sebagai perlawanan komunitas pers Indonesia terhadap kesewenang-wenangan rejim Soeharto. Mulanya adalah pembredelan beberapa media diantaranya, Detik,Editor dan Tempo pada 21 Juni 1994.
Juga gejolak ancaman, intimidasi –adigung kekuasaan dan abai terhadap fakta di lapangan –hingga kekerasan fisik yang dialami jurnalis pada masa itu di Papua.
Reformasi memang telah datang, namun ancaman terhadap kebebasan pers tetap melekat. Kekerasan terhadap wartawan menurut Taha Alhamid (tokoh Papua) hanyalah secuil contoh hantu kemerdekaan pers di era- kekinian. Tapi, sekarang, pers memulai sepercik harapan kemerdekaannya. Dan vonis bebas murni bagi Munib adalah titik-balik semua itu.
Tindakan aksi represif penguasa Orde Baru itu, memicu aksi solidaritas tehadap korban. bada empat ancaman terhadap kebebasan pers di Papua. Umumnya datang dari empat pihak yaitu penguasa, pemodal, masyarakat dan jurnalis sendiri.
Taha pada tulisannya,”Kebebasan Pers di Mata Masyarakat Papua” menyatakan kebebasan Pers di Papua tidak cukup diukur dengan makin banyaknya jumlah media cetak (koran,tabloid) dan elektronik (radio). Baginya, itu sebuah prestasi tersendiri, tetapi tidak cukup untuk mengubah realistas Papua yang sudah terlanjur “babak-belur.”
Dikatakan Alhamid bahwa Pers di Tanah Papua (dalam pandangan rakyat Papua) tentu saja harus pers yang bersedia berteriak lebih nyaring lagi dan jujur melawan praktik kekuasaan yang sosial, praktik perdagangan ilegal, serta perilaku penguasa yang kolusif, koruptor dan nepotisme.
Apakah dengan semakin banyaknya ancaman yang dihadapi jurnalis. Krist Ansaka (jurnalis Papua yang melalang-lintang di beberapa media maistrem di dari pusat hingga ke Papua). Refleksi yang disodorkan bagi jurnalis di Papua lewat tulisannya yang berjudul,”Petaka Jurnalis di Bumi Papua.”
“Apakah kita tinggal diam dan terus menjadi korban? Mungkin ungakapan “surga berdarah” akan tetap menjadikan negeri Tanah Papua sebagai wilayah kaum professional yang tersandra di alam kemerdekaan?.”
Kehadiran LBH-Pers menjawab tantangan yang dihadapi jurnalis di Papua ketika mengalami ketidakadilan di mata hukum. Itu disampaikan Lucky Ireuuw melalui sambutannya, pada 10 Desember 2021 lalu di Hotel Mercure,Jayapura, Papua. Dan sekaligus mengukuhkan Perkumpulan Bantuan Hukum Pers (PBHP) di Tanah Papua.
Lucky melihat potensi kedepan dengan adanya PBHP. Diyakini bisa memberikan manfaat secara langsung untuk pemerintah daerah dan pusat di Negara Indonesia. Sebagai mitra kerja pers misanya aparat keamanan TNI-Polril, lembaga NGO, legislatif, eksekutif, yudikatif serta masyarakat adat di Tanah Papua.
Lucky membeberakan satu kasus dari yang dicatat AJI selama kurun waktu sepuluh tahun belakangan terhitung (2010-2021) diantaranya yang terbaru pernah dialiami mantan ketua AJI kota Jayapura, Victor Mambor dan ketua AJI Kota Jayapura saat ini ( Lucky Ireeuw) keduanya mengalami teror dengan motif pemecahaan kaca pada mobil itu terjadi awal tahun dan Agustus 2021. Atas kejadian itu, AJI Jayapura sempat membuat laporan ke Polisi. Dari data AJI sejak 2000-2021 tercatat 115 kasus yang dialami jurnalis asli Papua, non-Papua dan intimidasi ke perusahaan media.
Menurut Lucky,” untuk kasusu yang dialami keduanya, sudah delapan bulan lebih tidak ada proses yang jelas hingga kini. Kita bisa lihat, kondisi ini menunjukan tidak ada jaminan hukum bagi jurnalis yang mengalami kekersana di Papua. Dengan situasi itu, maka kami merasa perlunya satu organisais atau lembaga yang fokus untuk melalukan advoksi kepada para jurnalis untuk mewujudkan keadilan bagi jurnalis.”
Dengan legalnya PBHP ini adalah rumah pengaduan bagi jurnalis. Ketika mengalami kekerasan fisik atau verbal, Lucky menghimbau agar segera melaporkan ke PBHP.
“Kawan-kawan akan dibantu pengacara kami, Simon dan Astrid. Mereka dua akan menangani persoalan hukum pers dan memberikan perlindugan atas pembelaan terhadap hak-hak jurnalis.
Kepada media ini, ketua PBHP Tanah Papua, Simon Patiradjawane dan rekan kerjanya Asrid menyatakan siap bekerja untuk advokasi litigasi dan non-litigasi untuk pendampingan diperadilan.
“Kami melihat dari sekian kasusus kekerasan fisik dan non-fisik yang dialami jurnalis. Tidak ada pembelaan hukum dan perlindungan terhadap mereka. Kalaupun ada yang melapor; mereka hanya sebatas melapor. Tidak ada proses pendampingan. Dan ketika kasus kawan-kawan tidak didampingi sampai selesai.
Misalnya itu kasusunya pidana, harus proses sampai ada keputusan sampai orang tesebut bertangungjawab terhadap perbuatan yang ditujukan kepada pers.
Keduanya berpesan,“apabila kawan-kawan jurnalis ada yang mengalami intimidasi atau kekerasan. Kami sarankan harus segera melapor ke PBHP. Jangan takut. Seacara rasional hukum hak asasi manusia di jamin. Kode etik jurnalis dilindungi oleh UU Pers Nomor 40 tahun 1999.”
Bagi pengacara hukum roh-nya hanya satu yaitu kuasa dari pelapor. Kalau tidak ada laporan, tidak ada kuasa. Begitu yang dikatakan Simon dengan demikian pengacara juga tidak bisa kerja. Untuk mendukung kerja-kerja pengacara, diharapkan jurnalis harus bisa mendokumentasikan kasus secara rinci dan pribadi apabila individu (jurnalis) tersebut mengalami tindak kekerasan. Pengaduan di PBHP tidak memungut biaya;gratis.
Apresiasi oleh tokoh Agama Katolik di Papua, yang juga pembela HAM, dia adalah Pastor Jhon Djonga, Pr. Ia melihat ini sebagai kebangkitan baru dalam menegakan keadilan dan pembelaan terhadap warga pers ( jurnalis) di Tanah Papua.
Secara fakta Pastor Jhon menilai banyak sekali jurnalis menjadi korban karena ketidakpahaman para pemangku kepentingan mulai dari penegakan hukum pers, militer (TNI-Polri) dan lainnya.
Adanya PBHP dirasa sangat penting dalam perkembangan profesi jurnalis dan juga pengembangan jurnalis di Tanah Papua hari ini dan akan datang.
Kepada para jurnalis, Pastor Jhon menyarankan,”sebaiknya secara internal jurnalis, etah yang bekerja di berbagai media. Kalian harus benar-benar memahami tentang roh dari kerja-kerja PBHP secara tugas dan fungsinya bagi penegakan hukum..”
Selain tigas-tuga jurnalistik, jurnais juga diminta untuk terus mengedukasi dan mengadvokasi masyarakat demi penegakan hukum dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan HAM dan kebebasan Pers.
Darma Somba, salah satu jurnalis perempuan mengapresiasi,”sudah lama sekali, kita rindukan ada lembaga Pers di Tanah Papua. Dengan melihat banyaknya kasus kekesarasan terhadap jurnalis secara verbal dan non-verbal dialami jurnalis. Efek hukum yang kurang berdampak. Sehingga orang terus melakukan kekerasan terhadap jurnalis dengan dalil, ah, gampang saja, nanti kita minta maaf, sudah selesai.”
Perlu sekali ada edukasi kepada semua pihak. Kedepannya, kalau jurnalis merasa dirugikan, ada jalur hukum yang bisa ditempu. Bukan dengan main pukul dan mengata-ngatai atau membuli. Harapan Somba, semoga dengan adanya lembaga ini, kita tidak merasa takut lagi dengan melaksaakan tugas-tugas jurnalistik dengan baik. Dan terus berani menyarakan keadilan dan kebenaran.“Supaya kita juga tidak lagi diperlakuakan semena-mena dari orang lain. Bahwa jurnalis dilidungi hukum. Di saat orang lain tidak memahami tugas kita, dengan cara seperti ini mereka bisa paham,” ujar redaktur Papuainside.com.*(Alfonsa Wayap)