suaraperempuanpapua.id – PEMETAAN wilayah adat di Kabupaten Jayapura dilakukan oleh sepuluh lembaga swadaya masyarakat sejak 2016 sampai dengan rampung pada September 2022.
Lembaga yang memetakan wilayah adat adalah Pemerintah Kabupaten Jayapura, Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA), Samdhana Institut, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, WRI Indonesia, BRWA, Econusa, Perkumpulan untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (Pt.PPMA), serta Forum Kerjasama Lembaga Swadaya Masyarakat (FOKER LSM) Papua.
Luas wilayah hutan adat di Kabupaten Jayapura yang telah dipetakan telah mencapai 22.825,76 hektar, dan telah diserahkan kepada Tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia untuk diverifikasi.
Tim Verifikasi terdiri dari perwakilan Kementrian KLHK, Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Wilayah Maluku-Papua, Akademisi Universitas Cenderawasih Jayapura, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kabupaten Jayapura serta perwakilan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) melalui Keputusan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Hidup Nomor: SK.28/PSKL/PKTHA/PSL.1/9/2022 yang dipimpin oleh Ketua Tim Terpadu Soeryo Adiwibowo.
Tim Verifikasi Terpadu telah datang bertemu dengan Bupati Jayapura Mathius Awoitauw di Hotel Grand Allison Sentani, pada Minggu, 2 Oktober 2022. Tim melakukan verifikasi di lima lokasi yang berbeda, yaitu di Distrik: Kemtuk Gresi, Nimboran, Nimbokrang, Ravenirara dan Distrik Ebungfau, selama empat hari. Dimulai 3 Oktober dan berakhir 7 Oktober.
Luas hutan adat yang diusulkan untuk diverifikasi oleh Tim Verifikasi Terpadu seluas 22.825,76 hektar. Hutan adat terluas berada di Kusang Syuglue Woi Yansu di Distrik Kemtuk Gresi dengan luasan wilayah mencapai 15.602,96 hektar.
Setelah verifikasi, dan hasilnya akan disahkan oleh tiga kementerian terkait, yaitu Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN), Kementerian Lingkungan Hidup, serta Kementerian Kehutanan RI. Lalu akan dibuat aplikasi Komunikasi Informasi, dan didorong ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional RI untuk disertifikasi.
Hasil dari pemetaan wilayah adat, datanya akan diinput melalui aplikasi Komunikasi Informasi tentang geospasial. Masyarakat selaku pemilik hak ulayat yang termuat dalam peta wilayah adatnya, akan mendapatkan sertifikat komunal.
Kepemilikan sertifikat komunal ini sangat penting, karena ketika ada investor yang akan masuk dan hendak mengelola potensi sumberdaya alam milik masyarakat, maka sertifikat ini menjadi jaminan bahwa semua aktivitas yang dilakukan di kampung harus berdampak positif bagi kedua belah pihak.
Dengan disertifikatkannya tanah-tanah adat ini, maka ke depan, apabila ada pembangunan, bisa diketahui jelas siapa pemilik sebenarnya atas hak ulayat pada wilayah adat yang akan dikelola.
Ketua Dewan Adat Suku (DAS) Klisi, Dortheis Udam mengatakan, hutan adat tersebut diusulkan sendiri oleh masyarakat adat – yang merasa hidupnya kian terancam dengan perkembangan pembangunan.
“Kami mengusulkan hutan adat ini, karena bagi kami, hutan merupakan kekayaan kita, selain tanah yang dimiliki oleh suku-suku di Papua. Dan selama ini kami masih hidup dengan memanfaatkan hasil hutan. Sedangkan hak masyarakat adat terkait pengelolaan dan pemanfaatan hutan dibatasi, dengan adanya perkebunan kelapa sawit, yang mulai mengancam wilayah adat kami”.
Dortheis Udam mengatakan sekarang kehidupan kami orang Papua semakin terancam. Namun, dengan adanya skema hutan adat, kami merasa penting. Kami para Ayanang Trang Digno dan seluruh masyarakat adat di sini telah berkontribusi besar dalam menjaga hutan. Sehingga jika hutan di kembalikan kepada kami masyarakat adat, tentu kami merasa negara hadir dalam memberikan kepastian dan perlindungan serta pemberdayaan.
Bupati Jayapura Mathius Awoitauw mengatakan dengan adanya tujuh usulan pengakuan hutan adat yang telah selesai diverifikasi merupakan satu pekerjaan tim yang luar biasa, dari berbagai pihak ini menjadi harapan untuk masyarakat adat agar kedepan di Kabupaten Jayapura maupun di seluruh Tanah Papua bisa dikerjakan hal yang sama.
Ada tujuh usulan pengakuan hutan adat, yang dilakukan oleh Gugus Tugas Masyarakat Adat Kabupaten Jayapura, yaitu: (1). Kusang Syuglue Woi Yansu. (2) Ku Defeng Meyu. (3) Ku Defeng Akrua. (4) Melra Kelra Sena. (5) Melra Kelra Sena Yosu Desoyo. (6) Ku Defeng Wai. (7) Ku Defeng Takwobleng, serta (8) Babrongko, sedang menunggu kelengkapan administrasi yang lain.
Masyarakat adat membutuhkan kepastian ruang kelola mereka baik tanah maupun hutan yang selama ini tidak ada kepastian hukum atas wilayah adat serta ruang didalamnya. Kehadiran negara menjadi penting dalam memberikan jaminan atas keberadaan masyarakat adat dan wilayahnya. Namun hari ini dengan adanya penilaian yang positif terhadap hutan adat yang diusulkan merupakan harta yang besar dan modal untuk masyarakat adat bisa hidup dengan satu kepastian hukum untuk generasi dan anak cucu ke depan.
Mathius Awoitauw melihat masyarakat sangat antusias dengan adanya pemetaan wilayah adat. Karena dengan luasnya potensi hutan adat di Kabupaten Jayapura, “kita bisa bayangkan bagaimana, jika semuanya bisa terpetakan. Maka kedepan akan menjadi modal yang kuat untuk keberlangsungan masyarakat adat dalam menjaga hutannya”.
Hutan adat juga menjadi penting dalam menjaga pelestarian hutan kedepan sesuai dengan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat. Satu tantangan kedepan yang nanti terjadi dengan adanya perubahan. “Saya percaya bahwa masyarakat adat akan jauh lebih siap dan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar”, ujar Mathius.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kabupaten Jayapura, Abdul Rahman Basri menyampaikan apresiasi kepada masyarakat adat yang telah menyambut kehadiran tim dan memberikan dokumen usulan yang lengkap. Ini merupakan bukti keseriusan masyarakat adat dalam menjaga dan melestarikan hutan kedepan.
“Dinas Lingkungan Hidup ikut mengawal proses dan memastikan terkait dokumen usulan tersebut benar-benar dari masyarakat adat sendiri. Sebagai salah satu dari anggota tim terpadu, kami merasa sangat senang dengan antusias masyarakat adat, karena semua pertanyaan yang diajukan dijawab dengan sangat baik, dan mudah-mudahan hasilnya sesuai dengan harapan masyarakat adat”, ujar Rahman.
Ketua GTMA Kabupaten Jayapura, Elphyna Situmorang mengatakan dari perjalanan lalu, memang banyak kendala. Sehingga proses kegiatan banyak terhambat. Baru beberapa waktu ini, kami secara maraton mulai menyelesaikan pemetaan di setiap wilayah pembangunan, dan tersisa wilayah pembangunan satu.
Di dalam satu peta wilayah adat, tidak hanya menjelaskan soal luas tanah atau batas-batas tanah. Peta wilayah adat ini juga menjelaskan tentang seluruh potensi sumberdaya alam yang dimiliki oleh masyarakat adat di wilayah adatnya masing-masing.
Kendala yang sering kali terjadi adalah penyelesaian konflik atau masalah atas pengakuan terhadap hak ulayat. Sejauh ini, proses-proses penyelesaian secara kekeluargaan dapat berjalan dengan baik hingga tuntas.
Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw mengatakan pemetaan wilayah adat yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura melalui GTMA, berjalan secara perlahan. Sebab turun ke lapangan tidak mudah, tanpa ada dukungan kuat dari masyarakat.
Pemetaan wilayah adat ini barang baru bagi masyarakat kita, bertahun-tahun masyarakat adat hidup dalam sejarah yang tersirat dari zaman nenek moyang hingga saat ini. “Dan hal tersebut tidak banyak menolong masyarakat kita sebagai pemilik hak ulayat, ketika terbentur dengan proses hukum”.
Pemetaan wilayah adat adalah bagian dari implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus, yang saat ini menjadi problem semua masyarakat di Papua.
Program kampung adat dan pemetaan wilayah adat adalah dua instrumen yang saling berkolaborasi dalam tujuan, dan dasar dari lahirnya UU Otsus. Pemberdayaan serta proteksi kepada keberadaan masyarakat asli Papua, dan ini baru dilaksanakan di Kabupaten Jayapura.
Ketua Harian GTMA Kabupaten Jayapura, Bernard Urbinas mengatakan di beberapa daerah pembangunan, seperti wilayah pembangunan: 1, 2, 3, dan 4 proses pemetaan wilayah adat sudah mencapai 90 persen. Seperti di daerah pembangunan tiga, yaitu wilayah Besar Nambluong, Kemtuk Gresi, dan beberapa wilayah 1,2,dan 4,”
Verifikasi hutan adat oleh KLHK ini merupakan yang pertama dilakukan di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Dalam waktu bersamaan, verifikasi juga dilakukan di hutan adat Ogeney di Kabupaten Bintuni, Papua Barat. Ini merupakan sejarah baru dalam pengembalian hutan adat kepada masyarakat adat di Tanah Papua.
Paskalis Keagop/suara perempuan papua