suaraperempuanpapua.id – PERISTIWANYA bermula pada Sabtu, 16 Mei 2020 pukul 09.00 pagi. Marius Betera bersama istrinya pergi ke kebun yang berlokasi di areal perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Tunas Sawa Erma Palm Oil Plantation (TSE POP) Blok A Camp 19.
Ternyata kebun yang ditanami pisang dan tanaman lainnya itu, telah digusur perusahaan menggunakan alat berat eksavator pada beberapa hari sebelumnya. Melihat itu, Marius pulang ke rumah dan selanjutnya pergi ke Kantor Polisi Pos Camp 19 untuk mengadukan permasalahan itu. Tapi tidak bertemu kepala polisi pos, karena sedang keluar. Marius pun balik ke rumahnya di Barak E Nomor 11.
Pada pukul 10 pagi, Marius pergi ke kantor perusahaan di Camp 19 untuk mengadukan permasalahan penggusuran kebunnya. Di kantor, ada karyawan dan petugas Satpam perusahaan. Marius masuk ke Ruang Kantor Umum bertemu dengan Andi Suparna, Manager Perencanaan, menyampaikan masalah penggusuran kebunnya.
“Biasanya, perusahaan mengeluarkan imbauan kepada warga pemilik kebun, jika sedang ada pembersihan lahan dan pembukaan kebun baru. Maka, warga akan diminta segera panen hasil. Tapi, ini tidak dilakukan. Hak warga untuk mengambil hasil kebun dirugikan. Saya marah dan menuntut ganti rugi”, ujar Marius kepada Andi Suparna.
Namun, keluhannya tidak ditanggapi Andi Suparna, sebagai salah satu petinggi perusahaan. Sehingga, Marius keluar ruangan dan mengambil peralatan berburu dan kebun berupa parang, busur dan panah, yang ditaruh di luar kantor, dan hendak pulang ke rumahnya.
Saat Marius berada di ruang kantor itu, rupanya Andi Suparna telah menghubungi anggota polisi bernama Melkianus Yowei, berpangkat Brigadir Polisi.
Di saat hendak meninggalkan kantor, datanglah Melkianus Yowei mengambil paksa busur, panah, parang milik Marius. Lalu, Brigpol Melkianus Yowei langsung memukul Marius yang saat itu sudah di atas motor. Korban turun dari motor dan Melkianus melanjutkan pemukulan dengan tangan kosong secara betubi-tubi ke bagian leher, bagian belakang telinga dan menendang perut korban.
Menurut Andi Suparna yang menyaksikan langsung penganiayaan itu mengatakan korban merasa kesakitan pada bagian leher dan telinga. Korban sempat memasukkan jari telunjuk ke dalam telinga, ternyata ada darah.
Korban sempat meminta Polisi Melkianus untuk menghentikan penganiayaan terhadap dirinya, tapi dia tidak menghiraukannya dan meneruskan aksi pemukulan. Kejadian itu disaksikan langsung oleh Andi Suparna, anggota Satpam perusahaan, bernama Andi dan karyawan PT. TSE POP Blok A Camp 19.
Pukul 11 siang, Marius Betera kembali lagi ke Kantor Polisi Pos Camp 19 untuk bertemu kepala polisi hendak mengadukan agar Brigpol Melkianus Yowei dihukum serta menuntut ganti rugi atas kebunnya yang telah digusur oleh perusahaan. Tapi korban tidak bertemu Kapolpos, karena sedang istirahat. Akhirnya, korban balik ke rumahnya.
Pukul 13 siang, korban merasa tidak enak badan, lalu menggunakan motor pergi ke Klinik PT. Tunas Sawa Erma Palm Oil Plantation Blok A di Camp 19 untuk periksa. Ketika tiba di Pos Satpam, Marius Betera tidak bisa mengendalikan diri dan jatuh. Korban dibawa ke dalam klinik dan meninggal.
Atas kejadian itu, pada Minggu 20 Mei 2020, pihak keluarga korban yang diwakili Okto Betera menuntut: 1) Kapolres Boven Digoel segera memecat Brigpol Melkianus Yowei dihadapan keluarga korban.
Kedua: Menuntut PT. Tunas Sawa Erma Palm Oil Plantation Blok A Camp 19 segera memecat, Andi Suparna, Manager Perencanaan dan petugas keamanan yang berada di lokasi kejadian, yang dengan sengaja membiarkan penganiayaan itu. 3) Keluarga menuntut denda adat oleh perusahaan PT. TSE POP Blok A, dan Kapolres Boven Digoel.
Polisi Melkianus, pernah bertugas di Polpos Camp 19 PT. TSE POP, tahun 2019. Tapi warga Camp 19 protes keberadaannya, karena pada tahun itu, dia menganiaya seorang perempuan berusia tua. Sehingga, ia dipindahkan ke Polres Boven Digoel di Tanah Merah. Tapi, sang Brigadir Polisi yang doyan pukul orang itu masih terus berkunjung ke Camp 19, karena isterinya guru, mengajar di SD Camp 19.
Uskup Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC., mengecam keras pembunuhan itu. Pemunuhan kepada siapapun adalah kejahatan melawan kemanusiaan. Siapapun yang melaksanakan pembunuhan itu, apalagi pelakunya adalah aparat keamanan, harus segera ditangkap, diadili dan dihukum sebera-beratnya.
“Pemimpin kepolisian di tempat itu, dan pemimpin perusahaan Corindo harus diperiksa. Perusahaan jangan hanya mencari keuntungan ekonomi, dengan mengkorban manusia. Keadilan harus ditegakkan”, tegas Uskup Agung Merauke.
Monsenyur Petrus Canisius Mandagi, MSC., menegaskan orang Papua bukanlah binatang, yang seenaknya boleh diperlakukan kasar, keras, apalagi dibunuh. Orang Papua seperti manusia-manusia lain adalah gambaran Allah.
Polisi yang ditempatkan di Papua adalah aparat keamanan. Itu berarti polisi mengamankan semua rakyat, bukan hanya rakyat yang bekerja di perusahaan. “Kalau ada masalah, dialog harus diutamakan, bukan masalah diselesaikan dengan kekerasan”, tegas Uskup.
Sebelas lembaga kemanusiaan di Tanah Papua juga minta segera usut tuntas tindak kekerasan oleh Bripol Melkianus Yowei, yang menyebabkan Marius Betera meninggal.
PT. TSE POP A merupakan salah satu anak perusahaan PT. Korindo Group. Perusahaan ini memiliki bisnis perkebunan kelapa sawit skala besar melalui enam anak perusahaan dan dua perusahaan pembalak hutan kayu, serta satu perusahaan hutan tanaman industri, yang beroperasi di wilayah Merauke dan Boven Digoel.
“Kami menilai Perusahaan PT. TSE POP Blok A Camp 19 telah menggunakan pendekatan keamanan untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara kekerasan, dibanding melakukan musyawarah mencari penyelesaian terbaik kepada pihak korban yang merasa dirugikan”, ujar Pastor Anselmus Amo, MSC. Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke.
Sementara, Tigor G. Hutapea, dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengatakan praktik pendekatan keamanan berujung tindakan kekerasan kepada masyarakat lemah. Pendekatan keamanan kerap digunakan perusahaan besar diberbagai tempat untuk menekan masyarakat, buruh dan Pembela HAM Lingkungan.
“Tindakkan pelaku sebagai aparat kepolisian yang membantu PT. TSE telah menyalahi tugas dan fungsinya sebagai aparat kepolisian. Tindakkan pelaku adalah pelanggaran serius yang harus segera diusut, dan dipertanggungjawabkannya di depan pengadilan serta memberikan sanksi yang seadil-adilnya”, tegas 11 lembaga dalam pernyataan sikapnya.
Mereka juga minta Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Boven Digoel segera evaluasi keberadaan PT. TSE POP Blok A, dan perusahaan-perusahaan besar lainnya di wilayah itu untuk menghentikan kerjasama keamanan dengan aparat TNI dan kepolisian serta menghormati hak-hak masyarakat adat.
“Pemerintah daerah harus memberikan tindakkan tegas kepada perusahaan yang melanggar hukum dengan memberikan sanksi pencabutan izin, serta pemulihan terhadap hak-hak masyarakat adat yang telah dilanggar”, demikian dalam pernyataan sikap yang dikeluarkan di Merauke, pada Minggu 17 Mei 2020 lalu.
Sebelas lembaga kemanusiaan ini juga minta masyarakat dan keluarga korban untuk tetap konsisten dan tidak takut untuk memperjuangkan keadilan.
Ke-11 lembaga kemanusiaan itu adalah: 1) Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke. 2) Yayasan Pusaka Bentala Rakyat. 3) Greenpeace Indonesia. 4) Tapol, UK. 5) Papua Itu Kita. 6) Eksekutif Nasional Walhi. 7) Wahana Lingkungan Hidup Papua. 8) Lembaga Bantuan Hukum Jayapura. 9) LP3BH Manokwari. 10) Lembaga Studi Advokasi Masyarakat Papua, dan 11) Lembaga Advokasi Peduli Perempuan.
paskalis keagop