Sentani—Suaraperempuanpapua.id—Hampir satu abad lebih jutaan orang terjebak dan terjerembab dalam perangkap mitos, stereotype dan pola pikir yang keliru bahwa matematika itu sulit atau hanya milik mereka yang pintar di kelas saja atau mereka yang bisa mengerjakan matematika dianggap sebagai orang cerdas, selebihnya dianggap bodoh atau tidak tahu apa-apa hanya karena tidak bisa mengerjakan matematika. Hal itu terungkap dalam teacher conference yang diselenggarakan Sekolah Papua Harap, belum lama ini di Sentani Jayapura.
Mr Prime dan Ms Teza dalam sebuah pemaparan materinya menjelaskan bahwa hampir selama itu pula jutaan orang terjebak dalam perangkap mitos, stereotype, dan pola pikir yang keliru tentang belajar matematika sehingga beranggapan matematika itu sesuatu yang sulit dan mungkin saja menakutkan sehingga tidak disukai, apalagi terkait dengan angka dan hitungan-hitungan yang membuat pusing kepala.
Untuk itu, kedua guru matematika ini secara bergantian menawarkan solusi yang menarik untuk membongkar mitos, stereotype, dan pola pikir yang keliru tersebut dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan modern yang berbasiskan Artificial Inteligent (AI) dan internet of Things (IoT).
Menurut Prime yang senang sekali dengan matematika bahwa mitos, stereotype, dan pola pikir yang keliru ini perlu dibongkar dengan dukungan ide-ide baru apalagi saat ini dunia sedang diarahkan untuk memasuki era society 5.0. yang menghendaki pemecahan segala sesuatunya dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi AI, IoT dan robotic. “hal-hal ini digunakan sebenarnya untuk memudahkan manusia menjalani kehidupannya agar lebih nyaman dan efisien”, tutur dia.
Dalam kesempatan itu, dijelaskan bahwa mitos sesungguhnya berasal dari bahasa Yunani, Mythos yang berarti kisah berlatar masa lalu, berisi penafsiran tentang alam semesta dan keberadaan mahluk di dalamnya, sesuatu yang dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya kisah atau penganutnya.
Arti lain dari mitos dimaknai sebagai sesuatu yang dianggap benar secara umum, namun kenyataannya tidak benar.
Dari pemaknaan tersebut dapat dimengerti bahwa mitos terkait matematika selama ini terbagi menjadi dua yakni orang yang pintar mengerjakan matematika dan yang tidak bisa mengerjakannya. Yang bisa mengerjakan matematika adalah orang pintar dan yang tidak bisa mengerjakan matematika dianggap orang bodoh. Yang cepat mengerjakan soal matematika adalah pintar dan yang lambat dianggap tidak pintar. Selain itu, muncul anggapan-anggapan negatif yang dipandang sebagai mitos yaitu matematika itu tentang perhitungan rumus dan persamaan; Yang bisa kerja soal matematika itu pintar; yang tidak bisa adalah bodoh, atau pelajaran matematika itu tidak menyenangkan bahkan mengerikan. Soal matematika terlalu sulit buat saya, bahkan pintar matematika berarti selalu mendapatkan nilai sempurna (100).
Sementara stereotype berasal dari kata dalam Bahasa Inggris yang artinya penilaian atau anggapan terhadap seseorang berdasarkan etnis, budaya, atau kelompok sosial.
Sehingga stereotype yang muncul dapat dicontohkan misalnya perempuan dan rakyat kelompok suku tertentu dianggap tidak pintar matematika.
Sedangkan, dalam bagian lain dijelaskan juga tentang pola pikir, merupakan sekumpulan kepercayaan yang membentuk bagaimana seseorang melihat dunia dan dirinya sendiri.
Pola pikir dipahami sebagai upaya memengaruhi pikiran, perasaan, dan tindakan dalam hidup sehari-hari. “jadi mitos dan stereotype mempengaruhi pola pikir siswa dan guru”, tutur Prime.
Bahkan, mitos dan stereotype memengaruhi pembelajaran matematika.
Sehingga untuk memperbaiki hal ini, kata Prime, dirinya telah memiliki pengalaman yang telah diterapkannya beberapa tahun di Sekolah Papua Harapan dengan mengembangkan pola pikir yang benar tentang matematika.
Cara yang digunakan adalah dengan Class belief, dimana membangun kebiasaan dan kepercayaan bahwa saya bisa mempelajari banyak materi di kelas matematika. Kalau ada topik yang terlalu sulit, saya hanya butuh waktu untuk mempelajarinya. Semua ini hanya tentang pengulangan.
“jadi siswa saya bisa belajar matematika ini hanya tentang waktu dan pengulangan”, katanya.
Terkait pengulangan, kata prime, membuat kesalahan di kelas matematika itu tidak apa-apa. Pikirkan cara memperbaikinya, belajar dari kesalahan supaya tidak terus menerus terulang kesalahannya.
Sehingga sebagai cara paling ampuh untuk menolong siswa di dalam kelas untuk belajar matematika adalah dengan menanamkan kalimat kepercayaan bersama dan disampaikan berulang-ulang bahwa memahami materi matematika itu butuh waktu bagi sebagian orang dan mengatakan kepada siswa bahwa membuat kesalahan dalam pengerjaan soal matematika adalah hal yang baik dan kamu berani mencoba namun harus tetat belajar dari kesalahan dan mencoba memperbaikinya.
“matematika adalah katerampilan sehingga dibutuhkan waktu atau latihan berulang-ulang sehingga bisa menguasainya.
Disamping menjelaskan tentang cara mengatasi mitos, stereotype, dan pola pikir dengan menanamkan kalimat kepercayaan dan pengulangan, maka Prime dan Teza yang adalah guru matematika di Sekolah Papua Harapan, mengingatkan peserta teacher conference bahwa teknologi dapat membantu siswa mengatasi mitos, stereotype, dan pola pikir dalam belajar matematika.
Baginya, dengan memanfaatkan bell assigment, G-classroom dan IXL yang kesemuanya dapat digunakan untuk menolong siswa mempelajari matematika dan mereka tidak takut salah dalam belajar matematika namun terus diasah untuk melakukannya secara berulang-ulang. Matematika adalah soal keterampilan.
Sehingga para guru dimana saja dapat berjuang mendidik siswanya dengan menanmkan spirit baru sehingga dapat bertumbuh dalam pemikiran yang positif, memiliki keterampilan menganalisis yang matematis, dan dapat menyiapkan generasi emas ini menjadi Pemimpin Masa Depan Papua dengan kualitas pemikiran yang luar biasa dan memiliki karakter, sikap, keterampilan dan kebiasaan yang baik sebagai hasil dari implementasi visi dan misi Sekolah Papua Harapan melalui pelajaran matematika.*(Gabriel Maniagasi)