suaraperempuanpapua.id—ASPENAS Kasipmabin, siswa SMA asal Kampung Seramkatop dan Jekson Sitokmabin, seorang pemuda dari kampung Wanbakon, Distrik Serambakon, Kabupaten Pegunungan Bintang. Keduanya dinyatakan hilang dalam rentang waktu yang berdekatan. Aspenas Kasipmabin dinyatakan hilang pada 18 Maret 2021. Sedangkan Jekson Sitokmabin sehari setelah itu,19 Maret 2021.
Kabar hilangnya kedua pemuda tanggung ini, bermula dari peristiwa saling tembak antara TNI versus TPNPB-OPM di Daolbakon, Serambakon, Oksibil, Pengunungan Bintang pada 28 April 2020.
Dari penuturan Sakjap [bukan nama sebenarnya] kepada spp.id mengisakan sejumlah peristiwa. Diantaranya kejadian yang menimpa Aspenas. Siang itu, usai pulang dari sekolah, Aspenas melewati jalan raya utama menuju kampungnya,Seramkatop.
Di tengah perjalanan, tempat terjadinya peristiwa saling serang. Aspenas kemudian dihadang dan entah di mana kini dia berada,masih misteri ?
Sedangkan, Jekson Sitokmabin, ia ditangkap di tengah jalan utama Serambakon, pada 19 Maret 2021. Jekson juga dinyatakan hilang. Sakjap bersama warga lainnya sempat terlibat dalam pencarian terhadap keduanya.
“Kami tidak temukan keberadaan keduanya sampai hari ini (Januari 2022). Yang saya sayangkan, tidak ada tindakan serius yang dilakukan oleh pihak keamanan. Terkesan kasus hilangnya dua orang ini dibiarkan begitu saja.”
Satu hal juga yang diutarakan Sakjap adalah ketika ada peristiwa di kampung. Pihak keamana sering datang setelah peristiwa itu terjadi. Sehari atau dua hari kemudian. Lalu datang dan bertemu dengan orang yang tidak tahu tentang peristiwa itu. Bahkan terjadi salah tangkap.”
Kapolres Pegunungan Bintang, AKBP Cahyo Sukarinto, S.IK,M.KP saat dikoonfirmasi spp.id terkait penanganan kasusus Jekson dan Aspenas. Berdasarkan laporan yang diterima atas hilangnya dua pemuda di Distrik Serambakon.
Dikatakan Cahyo malui pesan singkatnya,”kami telah melakukan pencarian bersama dengan masyarakat. Hingga saya ini belum ditemukan. Upaya-upaya tetap kami lakukan khususnya untuk melakukan pencarian dan juga menjalin komunikasi dengan berbagai pihak. Diantaranya kepala distrik dan para tokoh-tokoh masyarakat guna mendapat informasi. Namun hingga saat ini belum ada perkembangan.”
Dengan adanya peristiwa-demi peristiwa di wilayah Serambakon. Ditambah lagi dengan meningkatkan aktivitas keamanan yang lebih intens. Jam aktivitas masyarakat diatur sesuai peraturan militer yang berlaku.
“Sudah satu tahun ini berjalan, masyarakat tidak merasa bebas untuk beraktivitas. Kami sekaan terkekang dan bukan lagi hidup dalam negara demokratis yang menjamin hak-hak kebebasan dalam melakukan aktivitas sebagai masyarakat biasa.”
Sebagian besar tempat-tempat mencari makan dan minum. Mulai dari kebun, tempat sumber air, mandi,cucu,kakus (MCK). Di tempat berburu, berkebun, serta tempat yang dianggap sakral. Hanya boleh dimasuki orang-orang tertentu sesuai suku-marga.
Ston [bukan nama sebenarnya] yang merupakan rekan Sakjap yang tinggal di wilayah Serambakon kepada spp.id, mengeluhkan,“kami kadang mengira mereka tidak ada di tempat-tempat yang kami anggap sakral. Atau kebun-kebun tempat kami mencari makan. Ibu-ibu bertaman, di sumber-sumber air, tempat kami mengambil air untuk kebutuhan makan,minum. Dan itu masih berlangsung. Kapan saja kami bisa bertemu mereka. Kami merasa terganggu sekali. Seluruh aktivitas makan, minum kami ada dalam pengawalan mereka (TNI-Polri),”ujarnya.
Bukan hanya itu. Aktivitas ibu-ibu yang sering berjualan di pasar Oksibil. Beberapa ibu yang dari Serambakon mengaku,”kami datang ke sini untuk berjualan, biasa dari pagi buta. Kami pulang juga harus cepat-cepat, sebelum malam. Kami biasa ditanyai macam-macam, harus kasih tunjuk KTP,”pengakuan beberapa mama (ibu).
Kebebasan dalam beraktivitas juga dibatasi. Rumah-rumah yang terkunci dengan sengaja di dobrak masuk dan mengambil barang milik masyarakat seperti alat dapur, alat tidur, alat-alat kerja serta busur dan anak panah dan juga senapan angin.
Kronologis Peristiwa yang spp.id himpun dari Dekanat Pegunungan Bintang, Paroki Mabilabol, Oksibil yang penulis terima dari Pastor James I.Kossay,Pr sebagai berikut:
Pertama terjadi kontak senjata antara TNI dan TPNPB-OPM tanggal 28 April 2020 di kampung Seramkatop dan Wanbakon. Setelah peristiwa ini, pihak Militer mulai ber-tempat di Seramkatop.
Kedua, 23 Oktober 2020, terjadi penangkapan dan penganiayaan dan pemenjaraan selama dua minggu di Polres Pegunungan Bintang, terhadap dua warga sipil atas nama : Ponius Uropmabin (penginjil) dan Salmon Kaladana (umat katolik). Dengan tuduhan mereka terlibat sebagai anggota TPNPB-OPM tanpa barang bukti yang jelas.
Ketiga, 18 Maret 2021 telah terjadi saling tembak menurut dugaan sementara pihak Militer sendiri. Itu terjadi di jembatan Okbon/Oksibil tepatnya di tanjakan kampung Etilkatop. Dengan maksud mengalikan isu atau menudu baku tembak antara TNI dengan TPNPB-OPM.
Mobil yang sering digunakan pihak aparat (TNI) dengan rute arah bukit di Seramkatop maupun turun ke dataran rendah di ibu kota kabupaten, Oksibil. Ketika itu, kendaraan tersebut menuju Seramkatop. Di dalamnya ada seorang lelaki paruh baya,bernama Yupensius Oktemka (umat Katolik). Nah, dari keterangan itu, tuduhan terhadap aksi baku tembak itu dari TPNPB-OPM. Kehadiran Yupensius, menegaskan bahwa tuduhan itu tidak berlanjut. Sampai di situ, isu itu redam.
Keempat, pada 28 April 2020 sampai dengan 18 Maret 2021. Menurut keterangan Sakjap, terhitung sebelas bulan, terus terjadi operasi Militer mulai dari penyisiran dari rumah tempat tinggal masyarakat sampai di tempat-tempat aktivitas masyarakat.
Kejadian lainnya yang dialami delapan pelajar SMP Negeri Serambakon, pada 12 November 2021. Kedelapan anak tersebut adalah Kayus Uropmabin, Bedilan Asemki,Musiel Asemki, Benidiktus Asemki,Elsi Kasipmabin,Nason Kalakmabin,Yonan uropmabin dan Koper Asemki. Kedelapan anak ini ditudu mengancam anggota BRIMOB menggunakan api.
Kasus ke delapan pelajar, mulanya, mereka telah merencanakan untuk rekreasi bersama usai pulang sekolah pada hari itu. Tempat rekreasi yang dituju adalah sungai Oksibil (baca: kali). Dapat spp.id gambaran kondisi geografis di wilayah Serambakon. Lokasi di Wanbakon, Serambakon, tanahnya berbukitan,sedikit mengarah ketinggian.
Menggunakan kendaran roda empat, spp.id sempat melakukan perjalanan darat dari kota Oksibil sampai ke ujung distrik Serambakon. Jalannya aspal. Beberapa sungai-sungai besar—bejembatan—diantaranya Sungai Oksibil, sempat dilewati spp.id . Aliran airnya cukup deras dan sangat jernih. Berbanding terbalik dengan yang diberitakan dalam berita-berita yang menggambarkan kondisi wilayah ini. Seakan kondisinya sulit dijangkau.
Itu sekilas gambaran tentang Serambakon. Kembali ke kisah delapan anak. Mereka yang berjalan menuju kali Oksibil, membawa beberapa ekor ayam untuk dibakar di tepi kali Oksibil. Tepat puku 11.00 waktu Papua.
Diperkirakan jarak antara kampung dan kali Oksibil sekitar 3 kilo meter. Ketika itu, musim kemarau. Di pinggiran kali, banyak rumput kering. Mereka sempat membakar rumput kering di sekitar kali. Sambil bercanda gurau,layaknya anak-anak. Tak disangka, menurut sumber terpecaya, muncullah sejumlah anggota satuan BRIMOB lengkap dengan artibut, langsung menangkap kedepalan pelajar. Kedelapan pejar itu kemudian dibawa melalui jalan tikus (jalan setapak) menuju “markas” BRIMOB. Dalam perjalana mereka mendapat penyiksaan.
Tidak jauh dari situ, untungnya ada kepala kampung yang mendengar suara anak-anak yang berteriak meminta tolong. Ia kemudian bergegas menuju ke sumber suara. Dengan menggunakan baju kebesaran seorang kepala kampung.
Sesampainya di sana, dijumpainya kedelapan pejalar tersebut. Mereka sudah terbagi menjadi dua kelompok. Yang empat pelajar di masukan dalam satu ruangan. Dan empat lainnya di ruang sebelah.
Menurut kesaksian kepala kampung, mereka hampir saja mendapat penyiksaan. Kepala kampung meminta kepada pihak keamanan dengan mengatakan,“bapak-bapak yang terhormat, saya sebagai perwakilan dari pemeritah kampung ini. Memohon segera mengembalikan anak-anak saya. Apapun yang terjadi terhadap anak-anak ini, biarlah terjadi bersama saya!”
Setelah itu satuan BRIMOB langsung mengembalikan kedelapan pelajar itu kepada kepala kampung.
Menyikapi sejumlah peristiwa di Distrik Serambakon, Pastor James kepada spp.id menyikapi situasi yang masih terus bergejolak Dalam situasi ini, anak-anak mendapat intimidasi. Untuk itu pihaknya berharap agar semua tokoh serta bupati Pegunungan Bintang.
Sejumlah harapan yang disampaikan Pastor James belum terwujud. Pihaknya masih berharap agar semua pihak satu kata untuk bersama menyelesaikan masalah ini.
“Yang saya amati, itu tidak terjadi. Situasi di sini mau dibilang aman juga tidak. Di saat ada orang meninggal, seperti tidak ada orang yang meninggal. Bila ada keluarga yang hilang, juga terkesan seakan tidak ada yang hilang. Padahal, ini gaungnya luar biasa dalam hubungannya dengan persoalan kemanusiaan. Jika terus dibiarkan maka diyakini dampaknya buruk.
Itu bisa dilihat dari kenyamana masyarakat yang terus terusik dengan berbagai tindakan mulai dari teror, intimidasi, pemeriksaan terhadap setiap masyarakat yang keluar masuk wilayah Serambakon, terus berlanjut.
“Ada banyak hal yang kemudian berakibat buruk bagi kehidupan umat di sini. Saya harap kepada pihak-pihak yang masih ada ego: secara pribadi, kelompok,antar kampung. Saya mengajak, untuk menanggalkan kepentingan. Mari kita memberikan perhatian penuh untuk penyelesaikan persoalan ini dengan mengutamakan nilai manusia dan demi anak-anak kita,” kesan Pastor James.
Pastor James mengajak semua pihak untuk bagimana melihat nasib sekolah anak-anak yang sekolahnya dibakar? Mereka mau sekolah bagaimana? Sekali lagi kata Pastor James, jangan melihat masalah ini hanya milik kampung, orang atau kelompok tertentu. Tapi dengan kerendahaan hati mengemukakan persoalan ini sebagai persoalan bersama.
“Banyak persoalan yang dampaknya luar biasa. Dan anak-anak itu betul-betul kena dampak. Tapi, terlihat seperti tidak ada masalah. Itu yang terjadi. Punya telinga tapi tidak mendengar, punya hati tapi tidak melihat. Kami dari pihak gereja tetap ada terus bersama umat. Dengan cara kami, kami terus bekerja melalui data. Itu pun sudah kami perjuangakan, tapi, semakin terus terjadi,” ujar Pastor James dengan nada sedikit kesal dan terus menginginkan adanya sulusi bersama.
Pemerintah daerah yang adalah tuan rumah. Pastor James merasa seperti tidak punya hati melihat masalah ini. “ Kami bisa juga menyampaikan kepada pemerintah Provinsi Papua atau Pemerintah Pusat, yang memang kalau mau mengedepankan nilai-nilai kemanusiaa (manusia). Boleh turun dan lihat kami di sini (Pegunungan Bintang),” kata Pastor James mengakhiri rangkaian wawancara spp.id dalam peliputan khusus Sektor Keamanan dan Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. (Desember 2021) pasca konflik bersenjata di Kiwirok terhadap warga sipil di beberapa titik di Pegunungan Bintang. Alfonsa Wayap