suaraperempuanpapua.id – DIREKTUR Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Papua, Aiesh Rumbekwan mengatakan pemerintah telah mencanangkan investasi besar-besaran di Tanah Papua, roadmap (peta jalan) dipaparkan dalam rangkaian acara Pertemuan Tingkat Tinggi Investasi Hijau yang dilaksanakan pada 25 sampai 27 Februari 2020 lalu di Sorong, Provinsi Irian Jaya Barat.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan menyebut produk investasi yang akan ditawarkan ke investor meliputi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) serta komoditas perkebunan pala, kopi, dan kakao dengan syarat tidak merusak lingkungan.
Dikutip dari Liputan6.com bahwa pemerintah akan Luncurkan Konsep Green Investment itu di wilayah Papua dan Irian Jaya Barat.
Atas rencana pemerintah memasukkan investasi di dua Provinsi di Tanah Papua itu, Koalisi Masyarakat Sipil mempertanyakan soal indikator ‘ramah lingkungan’ yang disyaratkan pemerintah. Pasalnya, hutan primer tersisa di Papua dan Irian Jaya Barat hanya tersisa sekira 32,7 hektar.
“Oleh karena itu, harus dipastikan bahwa segala bentuk investasi di Tanah Papua tidak menyentuh hutan primer tersisa. Kita tidak ingin hutan Papua bernasib seperti di Sumatera dan Kalimantan yang telah hancur akibat eksploitasi masif demi kepentingan industri,” tegas Direktur Eksekutif Daerah Walhi Papua, Aiesh Rumbekwan, pada 4 Maret 2020 lalu di Sorong.
Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua mewajibkan kegiatan pembangunan ekonomi memberdayakan masyarakat adat serta melindungi hak-hak mereka.
“Investasi harus memberikan manfaat langsung terhadap masyarakat adat terutama dalam mengelola sumberdaya alam agar berkeadilan sosial dan lestari,” tegas Aiesh Rumbekwan.
Menurut Luhut Binsar Pandjaitan, bahwa pemerintah melarang perluasan perkebunan sawit di wilayah Papua dan Irian Jaya Barat sebab mayoritas dari perkebunan kelapa sawit akan dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar.
Juru Kampanye Hutan Papua Greenpeace Indonesia, Nico Wamafma menambahkan pemerintah melarang sawit di Papua dan menggantikannya dengan tanaman monokultur komoditas lain. Artinya, pembukaan lahan di kawasan hutan tetap mungkin terjadi.
“Ketentuan ramah lingkungan masih multitafsir, terlebih lagi pemerintah akan menghapus syarat Izin Lingkungan sebagaimana diatur Omnibus Law dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja, jelas ini mengkhawatirkan kami,” tegas Nico Wamafma.
Aiesh Rumbekwan. Direktur Eksekutif Daerah-Walhi Papua