LIPUTAN KHUSUS
suaraperempuanpapua.id-DESEMBER 2021 lalu suaraperempuanpapua.id (spp.id) dan wagadei.com melakukan liputan invesgiasi pasca konflik bersenjata di Kiwirok terhadap warga sipil. Liputan ini terselenggara atas kerjasama peliputan khusus Sektor Keamanan dan Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Diikuti 15 jurnalis dari berbagai platform media di beberapa kota di Indonesia.
Spp.id pada 17 Desember 2021 melakukan perjalanan menuju Oksibil, ibu Kota Kabupaten Pegunungan Bintang. Dari Jayapura, spp.id menggunakan pesawat Trigana Air menuju Oksibil. Penerbangan ditempu selama 45 menit.
Di Oksibil, spp.id tinggal di sebuah penginapan di Balusu. Siang itu,18 Desember 2021, pukul 11 WIT, spp.id menuju Posko Pengungsi di Gereja GIDI, Jemaat Sion Oksibil (18 Desember 2021). Tiga bulan sudah Konflik terjadi—September-Desember,2021— luput dari liputan media tentang nasib pengungsi.
Spp.id bergegas menemui koordinator (ketua tim) pengungsi, Nelson Nawipa di Posko Pengungsian. Sebelumnya spp.id dan Nelson sudah sepakat untuk bertemu di lokasi posko pengungsi.
Spp.id lebih awal ke lokasi pengungsian. Di depan gapura Gereja GIDI, terpajang spanduk bertuliskan, “Posko Pengungsian, Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang, Posko Penanganan Kemanusiaan Peristiwa di Distrik Kiwirok.”
Spp.id memasuki gedung Gereja GIDI yang lama. Bangunannya terbuat dari bahan kayu. Jarak antara gereja yang baru dibangun dengan bahan beton sekitar sepulu meter. Di bagian sayap gereja baru itu, ada kerangka bertenda biru. Situasi tampak lengang. Tak ada aktivitas di lokasi itu.
Sembari menunggu Nelson, spp.id sempat masuk ke dalam ruang gereja lama. Tempat ini rupanya pernah menjadi tempat tinggal para pengungsi Kiwirok. Di dalamnya banyak bangku kosong berjejer. Di salah satu sudut ada beberapa karung beras.
Sekitar 30 menit menunggu. Sekretaris Koordinator pengungsi, Rano Bidana datang menyampaikan pesan Nelson. Katanya, dia tidak bersedia memberikan keterangan. Alasannya, banyak yang datang dan melakukan wawancara, mengambil data, memberikan janji-janji untuk membantu dan lainnya. Katanya,semua itu tidak pernah terealisasi.
Cuaca pagi itu cukup cerah. Biasanya, cuaca di Oksibil tidak menentu. Kadang cerah-adakalanya hujan tiba-tiba. Spp.id kemudian bergegas mencari narasumber lainnya. Diantaranya menemui beberapa pengungsi yang menurut informasi, mereka tersebar di 16 titik. Salah satunya di Okpol.
Dari depan Gereja GIDI, spp.id menumpangi ojek, sekitar 5 menit, tiba di Okpol. Ongkos ojek sekali jalan Rp 30 ribu. Ketika berjalan memasuki sebuah rumah, tempat beberapa pengungsi tinggal. Ada sebagian yang melihat spp.id datang, mereka (pengungsi) kemudian pergi menghindar, lantaran merasa takut.
Setelah menyampaikan tujuan spp.id ke sejumlah orang di rumah itu, kemudian mereka bersedia ditemui. Kata salah satu dari mereka,”tadi waktu lihat kamu datang, sebagian saudara-saudari kami, termasuk salah satu sekretaris kampung asal Distrik Kiwirok, pergi dari sini. Mereka takut dan masih trauma.”
Di sebuah dapur kecil, spp.id menemui beberapa orang (anak sekolah dan salah satu keluarga). Demi kenyamanan pengungsi, nama mereka tidak disebut dalam tulisan ini. Lelaki paru baya bersama istri dan tiga anaknya. Dua anak laki-laki dan satu perempuan. Putra pertamanya berusia 12 tahun. Yang kedua, kelas IV SD dan si kecil, masih TK. Ayah tiga anak ini kemudian bercerita tentang pengalamannya bersama istri dan anak-anak yang memilih mengungsi ke Oksibil. Kabupaten Pegunungan Bintang, memiliki 34 Distrik dan 227 kampung. Dengan luas wilayah 15.683 kilometer persegi. Dengan jumlah penduduk 73.473 jiwa lebih. Distrik Kiwirok memiliki 12 kampung. Kiwirok kota, Pomding. Dari keterangannya, telah terjadi penyerangan Pos TNI, pembakaran puskesmas, pasar, Sekolah (SD,SMP,SMA Negeri I Kiwirok)kantor distrik, Bank Papua Cabang Kiwirok, Perumahaan dan Balai. “Sebelum membakar rumah warga. Mereka (yang membakar)lebih dulu mengambil kuali,belanga, panci, piring dan peralatan dapur lainnya. Setelah itu, baru mereka membakar rumah-rumah kami. Yang saya bawa dalam tas, hanya ijazah anak-anak, surat-surat penting. Sedangkan ibu, dia hanya membawa noken besarnya. Selain dari itu, hangus terbakar.”
Dalam situasi seperti itu, mereka harus berjalan ke araha hutan. Waktu itu sekitar pukul 17.00 WIT. Kami menginap di sebuah kampung bernama Mangabib, Distrik Soba.”
Kisah lain yang juga diceritakan Wosot [bukan nama sebenarnya]menceritakan kembali bagaimana detik-detik terjadinya peristiwa Kiwirok.
Cerita Wosot,“pagi itu, sekitar jam 7 pagi, saya pergi ke sekolah. Ada satu guru mengatakan, akan ada aksi hari ini. Jadi, anak-anak, kalian pulang saja. Belum lama kemudian, sekitar pukul 9, sekelompok orang yang saya lihat, mereka masuk dan melakukan aksi anarkis. Dengan membakar sejumlah fasilitas: puskesmas, bank dan termasuk sa pu (sekolah milik saya) sekolah SMP Negeri I Kiwirok,” cerita Wosot.
“Berapa jumlah siswa di sekolahmu?” tanya spp.id Jawab Wosot yang adalah ketua OSIS SMP Negeri I Kiwirok, “ada 107 siswa total dari keseluruhan mulai dari kelas I-III. Sedangkan jumlah siswa di kelas saya sendiri sebanyak 30 siswa.”
Selain sekolah yang dibakar, lanjut Wosot, ada sebagian besar rumah dari kawan-kawan termasuk rumah miliknya juga dibakar. Dengan adanya peristiwa itu,”saya bersama mama dan warga lainnya kami pergi ke hutan. Kami berjalan dari Kiwirok menuju pengunungan Apom. Gunung itu berada di antara Distrik Kiwirok dan Oklip. Di hutan wilayah Oklip, kami tinggal selama satu minggu,” ujar Wosot yang bermimpi suatu kelak bekerja di Bank.
Untuk sampai ke Oksibil. Harus melewati banyak sungai (baca: kali Oktelie dan kali Oklip— besar yang cukup deras arusnya. Jembatannya terbuat dari tali rotan sebagai penyeberangan.
Perjalanan dari Kiwirok ke Oksibil, biasanya ditempuh dalam dua hari. Sangat relatif, karena ada yang bisa ditempuh cukup sehari, tergantung situasinya. Biasanya sesuai kemampuan si pejalan kaki. Wosot dan rombongan berjalan kaki selama dua hari. Satu malam, bermalam di kampung yang namanya Kubibkok.
“Saya ikut mama ke Oksibil. Sedangkan, bapa saya, kami berpisah di tengah hutan. Dia memilih ke Papua New Guinea (PNG). Sejak itu, kami berpisah satu dengan lainnya.”
Di Oksibil,Wosot masuk sekolah di SMP Negeri I Oksibil. Ia akan mengikuti ujian di Oksibil. Setelah selesai SMP, Wosot ingin melanjutkan sekolah di Jayapura. Entah di mana?
“Itu cita-cita saja. Saya belum mau kembali ke Kiwirok. Saya ingin keluar,” kesan Wosot.
Selain kisah Wosot, ada cerita lain dari Joe [nama bukan sebenarnya]—anak laki-laki muda, berpostur tinggi. Ketika ditemui, ia mengenakan singlet putih, duduk di tepi tungku api.
Joe, anak ke dua dari tiga bersaudara. Ketiganya, semua laki-laki. Ibu, Joe, sudah meninggal. Ayahnya tinggal di Oksibil.
Setelah menyelesaikan sekolah SMP di Oksibil. Ia pergi ke Kiwirok untuk melanjutkan sekolah SMA di sana. Selama di Kiwirok, ia tinggal di rumah kepala sekolah. Di kala liburan, Joe berlibur di rumah saudara dari ayahnya,(di sebutnya, bapak tua).
Joe saat ini kelas I SMA Negeri Kiwirok. Setiap hari, ia berjalan dari kampung Soba ke sekolah di SMA Negeri I Kiwirok. saat terjadi peristiwa waktu itu, Joe bersama kelima kawannya pergi ke sekolah. Di sekolah ada teman-teman lain yang datang ke sekolah.
“Kami mendengar informasi akan ada aksi pembakaran sekolah. Dari sekolah, saya dan kawan-kawan, kami pergi ke pasar. Situasi pasar juga tidak ada aktivitas layaknya di pasar. Ada beberapa laki-laki mengatakan, kalian lebih baik pulang saja.”Mendengar arahan itu, Joe dan kawan-kawan akhirnya bepisah. Joe kembali ke rumah jam 8 pagi. Karena, sa (saya) terlalu soak (lelah). Lalu membaringkan diri sejenak.”
Selang satu jam kemudian, jam 9 pagi. Sudah terdengar suara tembakan. Api sudah mulai membakar sekolah-sekolah, puskesmas, bank dan rumah-rumah warga. Sedangkan SD Inpres Pulobakon, dibakar jam dua siang. Aksi saling tembak mulai semakin memanas antara TPNPB dan TNI. Itu terjadi sejak jam 09.00-17.00 sore.
Joe bercerita kalau Ia melihat kelompok orang datang dan langsung membakar puskesmas serta rumah guru. Saat peristiwa itu terjadi, ia berada di rumah kepala sekolah. “Kami melihat telah terjadi saling tembak antara TPNB dan TNI dari Pos. Karena takut, kami yang berada di dalam rumah kepala sekolah, ada lima orang. Selama tiga hari, kami tinggal di dalam rumah itu. Dua hari saya tidak makan. Kawan-kawan hanya makan supermi mentah. Tidak berani memasak di tungku api. Takut terlihat kepulan asap dari dalam rumah itu.”
Hari keempat ada seorang anggota TNI yang datang ke dekat rumah kepala sekolah dan mengatakan,” kalian jangan tinggal di sini. Bahaya, sebaiknya sekarang juga kalian pergi ke Pos Tentara. Setelah itu, kalian mau ke hutan silahkan saja,” Joe mengulang kata salah satu anggota TNI.
Tepat pukul 5 pagi, Joe bersama rekan lainnya keluar dari Pos Tentara. Mereka pergi ke hutan. Di sana tidak ada rumah. Ia harus membuat sebuah bevak untuk seorang lelaki tua yang ia sebut bapak tua. Kondisi kedua matanya mengalami gangguan penglihatan. Begitu juga anak perempuan, anak dari si bapak tua yang menurut Joe, juga mengalami gangguan pada mata.
“Selama di hutan, ubi jalar (Boneng) menadi menu andalan kami. Selama tinggal di hutan, ada rasa takut. Anak-anak yang menangis. Orangtua mereka dengan cepat membujuknya. Jangan sampai ada suara tangisan anak.”
Tidur tanpa selimut. Pakaianpun, yang ada hanya yang masih di badan. Tidak ada stok pakaian untuk dirinya dan juga bapak tua. Menurut Joe, usianya juga sudah tua.Kedua mata bapak tua mengalami gangguan penglihatan. Setiap malam, Joe melihatnya selalu kedinginan.
Joe berniat kembali ke kampung untuk ambil selimut yang masih tersisa. Pagi-pagi, Joe berjalan kembali ke kampung di Kiwirok. Saat memasuki ujung kampung. Tiba-tiba saja, peluru mengenai bagian betis kirinya. Ia menduga, peluru itu arahnya dari Pos TNI yang berada di sedikit ketinggian.
“Saya kaget sekali, gemetar dan berlari kembali dengan kaki dipenuhi lumuran darah. Saya tidak jadi ambil selimut. Luka ini, saya rawat sendiri dengan air hangat sampai sembuh,” kata Joe sambil menunjukan bekas lukanya di betis kirinya.
Joe kemudian memilih untuk pergi ke Oksibil dengan harapan bisa melanjutkan sekolah. Namun, berbeda dengan kenyataan yang dialami.
Sekolah SMA Negeri I Oksibil, jaraknya cukup jauh dari tempat tinggal Joe di Okpol. Belum lagi, ia tidak memiliki perlengkapan untuk sekolah. “Kalau ikut ojek pergi pulang, saya tidak punya ongkos. Saya memutuskan untuk tidak sekolah. Ada keinginan untuk kembali ke hutan dan tinggal bersama bapak tua. Saya membayangkan, mereka hidup seperti apa di sana? ”tuturnya dengan raut muka yang sedih.
Dalam kesedihannya, Joe masih mau berbagi kisah tragis yang dialami (kakek) Yehuda Tepmul, dia berasal dari kampung Okmangol Dia seorang duda. Kedua matanya buta.
Hari-hari tete Tepmul hidup bersama anak perempuannya dan keluarga lainnya. Sejak terjadi pembakaran rumah tete Tepmul. Anak perempuan dan keluarga lainnya lari meninggalkannya seorang diri di rumah itu. Tete Tepmul pun terbakar bersama rumah.
Semua telah terjadi dalam waktu sekejap. Hanya tertinggal bayang-bayang ketakutan dan trauma. “Kami merasa, ancaman bukan saja dari aparat negara (TNI-Polri) tetapi juga terhadap kelompok bersenjata atau yang dijuluki Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di bawah komando Lamek Taplo dan rombongan.
Awal tiba di Oksibil, mereka semua yang ditemui spp.id, tinggal di posko pengungsi, lingkungan Gereja GIDI. Dan itu pun ujar Joe,“kami tinggal di situ, tiga hari saja. Setelah itu, kembali ke tempat keluarga. Selama tinggal di rumah saudara. Rasa trauma masih menghantui kami. Apalagi, di saat ada anggota (TNI-Polisi)melakukan patroli di sekitar tempat tinggal kami.”
Setiap kali melihat aparat keamanan TNI-Polri, entah itu di jalan atau di sejumlah titik. Terlebih di pusat kota Oksibil (Mabilabol dan sekitarnya) dan di beberapa fasilitas pemerintahaan dan swasta (bank, ATM) di Mabilabol. Pasti yang ditemui, aparat berpakaian lengkap dengan gagah menggantungkan senjata di bahu. Dengan terus mengawasi setiap aktivitas warga.
Dari pantauan spp.id selama beberapa hari di Oksbil (Desember 2021). Itu yang terlihat. Satuan Brimob yang dikirim ke beberapa titik di Oksibil. Hampir setiap waktu, melakukan patroli dengan alasan melakukan pengamanan. Patroli di lakukan saat malam hari dan waktu-waktu tertentu yang telah dijadwalkan.
Tak jarang, warga yang tinggal di antara batas kota Oksibil dimintai kartu identitas berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP). Kepada spp.id, Pastor James Kossay usai melakukan pelayanan ke umat di luar kota dan hendak kembali ke Pusat Paroki Hati Kudus,Mabilabol,tempat tinggalnya.
Di tengah jalan, “saya dihentikan aparat. Mereka meminta saya untuk menunjukan KTP. Saya bilang, silahkan ikut saya ke rumah. Saya tinggal di dekat tempat tinggal kalian (mess Polisi). Nanti, saya akan tunjukan KTP. Saya kemudian diberi ijin pergi,” tutur Pastor James.
Pengalaman spp.id ketika menumpang ojek ke Okpol. Di tengah jalan, si pengendara ojek bertanya,”mbak asalnya dari pengungan ya? mau ke mana?”
Memang itu yang terjadi, jika ada wajah baru di Oksibil. Pasti saja ada yang memantau, entah itu tukang ojek, penjual di kios-kios,warung makan dan lainnya.
Di penginapan tempat kami tinggal awal. Di waktu sore, datang dua orang dan menanyakan siapa saja yang menginap di situ kepada tuan penginapan. Ciri-ciri keduanya, yang satu berperawakan gumpal, berambut gondrong, berkemeja putih. Dan satunya, menggunakan kopiah putih, berbaju kaos merah. Kehadiran keduanya seperti mengintai. Merasa tidak nyaman, spp.id dan wagadei.com pergi dari situ.
Situasi ini cukup membuat warga korban pengungsi merasa kenyamannnya terganggu. Ujar ibu tiga anak,“kalau kami pergi ke arah kota di Mabilabol. Dari Okpol mesti dengan ojek, lima menit. Ojek yang ditumpangi, sering banyak bertanya kepada kami. Dan di sana banyak aparat yang berjaga-jaga lengkap dengan senjata. Kami biasa rasa takut. Jadi, kalau kami ke kota, pulangnya pasti cepat dan tidak sampai jam 5 sore.”
Dari penuturan ibu ketiga anak,” kami belum bisa kembali ke Kiwirok. Kalau kami kembali, di mana kami akan tinggal? Anak-anak mau sekolah di mana? ibu mau berjualan di mana?. Apakah kami akan aman-aman saja? banyak pertimbangan untuk kembali ke Kiwirok,”ujar kedua oragtua tiga anak.
Saat ini, anak pertama dan kedua mereka tinggal di Oksibil dengan Om ( adik dari mama) sambil sekolah. Sebelumnya, anak pertama mereka yang berusia 12 tahun sudah SMP kelas I di SMP Negeri Kiwirok. Dan anak kedua, kelas IV SD Inpres Pulobakon, Kiwirok. Sedangkan yang kecil, umur lima tahun, baru masuk TK.
“Saat ini, posisi adik, sekolah di SD Dabolding, Oksibil. Dan kakaknya bersekolah di SMP Negeri Oksibil. Untuk fasilitas pendidikan bagi anak-anak pengungsi. Kata ibu, kedua anaknya difasilitasi oleh Dinas Pendidikan Pegunungan Bintang. Berupa pakaian seragam dan peralatan belajar (buku, bolpen dan lainnya).
Hal lain menyangkut akses kesehatan yang disampaikan ibu,” waktu saya sakit, saya kadang beli obat di luar. Atau pergi ke puskesmas terdekat.” Besar harapan mereka kepada pemerintah, supaya secepatnya membangun rumah warga, juga fasilitas kesehatan dan pendidikan di Kiwirok dan Oklip.
Menyangkut keberadaan siswa-siswi serta murid yang diutarakan kepala Sub bidang Pendidikan Sekolah Dasar Dinas Pendidikan Pegunungan Bintang, Bernardus Tapyor, S.Sos, di ruang kerjanya. Dari data yang himpin secara kasar, jumlah pengungsi anak-anak SD,SMP dan SMA yang di data dinas pendidikan jumlah keseluruhan mencapai 750-an anak sekolah.
“Data ini yang saya perkirakan dari sekian banyak anak sekolah. Yang ditangani secara darurat dengan cara dititipkan di beberapa sekolah yang ada di Oksibil.
Sejumlah anak sekolah dari tingkat SD,SMP dan SMA. Mereka tersebar di beberapa sekolah, diantaranya SMA Negeri Kasipding, SMA YPPK, SMK Oksibil, SMP Negeri Oksibil dan SMP YPPK Oksibi. Sedangkan yang ada yang masuk di SD Mabilabol, SD Dabolding dan Esipding.
“Nah, yang menjadi kendala anak-anak adalah soal tempat tinggal. Sebagian besar tinggal di kelurga. Ada juga yang tinggal di SMP GIDI Sion. Di situ ada seperti arsama, di jalan Okpol. Terkait kebutuhan makan minum,” kami dari dinas badan yang ada di Pegunungan Bintang. Kami dari dinas pendidikan, sudah menyumbang berupa beras, supermi, air minum dan bahan tulis.”
Menyangkut Dapodik siswa, kita akan tindaklanjuti khususnya yang ada di jenjang kelas I dan II SMP. Sedangkan mereka yang sudah kelas III. Dikatakan Tapyor kepada spp.id,” mereka tetap akan mengikuti ujian di sini. Nanti, ijazah mereka, kita gunakan alamat dan lainnnya sesuai asal sekolah.”
Lantas bagaimana dengan mereka yang masih kelas I dan II SMP. Dan SD dibawa kelas VI? “Nah, mereka ini, kami harapkan, apabila bangunan sekolah mereka sudah dibangun. Kami akan kembalikan mereka ke sekolah asal. Itu sempat dibicarakan dalam rapat koordinasi dengan bupati. Harapannya, fasilitas pendidikan bisa cepat di bangun dan anak-anak bisa mendapatkan pendidikan seperti semula.”
Jika bangunan fisik sekolah belum juga rampung. Pihaknya, melihat alternative lain dengan memindahkan dapodiknya ke sekolah tempat mereka mengenyam pendidikan di sini (Oksibil).
Menyangkut sekolah darurat kata Tapyor,“ tidak ada sekolah darurat yang dibangun. Tapi, inisiatif dinas pendidikan langsung menitipkan anak-anak sesuai jenjang pendidikan mereka ke tiap sekolah.”
Untuk sekolah SMP Negeri Serambakon, kampung Wanbakon,Oksibil,Pengunungan Bintang. Menurut kronologi sumber Gereja Katolik Paroki Mabilabol yang spp.id himpun. Peristiwa itu terjadi diawali dengan saling tembak antara kedua kubu (OPM-Aparat Militer) baku tembak mulai sejak pukul 04.30 WIT(subu)-05.30 pagi.
Pada Selasa,14 Desember 2021 kembali terjadi baku tembak. pukul 05.00 WIT, sekolah SMP Serambakon dibakar. Dan SMA Negeri I Oksibil. Dengan melihat kondisi yang terjadi di Pegunungan Bintang pasca konflik bersenjata yang berdampak pada terhentinya akses pendidikan.
Taplo mengaku, pihaknya tetap memberikan akses pendidikan. “Kami akui Meskipun situasinya berbeda dengan kondisi sekolah awal. Namun, yang terpenting di sini adalah, mereka bisa belajar kembali. Semua siswa-siswi korban dari pembakaran sekolah SMP dan SMA yang terjadi di Serambakon, Oksibil juga kami perhatikan.”
Ketua Dewan Adat Pegunungan Bintang-Yohanes Kakyarmabin merasa prihatin, mengapa fasilitas sekolah dan kesehatan harus di bakar? Dengan membakar fasilitas sekolah kata Yohanes, samasaja telah memutuskan masadepan generasi mendatang. Anak-anak akhirnya banyak yang mengalami trauma. Mereka hidup dalam bayang-bayang ketidak pastian akan masa depan.”
Sejak peristiwa Kiwirok terjadi sebagian besar warga sipil melarikan diri atau mengungsikan diri secara sadar—karena merasa terancam. Mereka pergi mencari tempat yang aman. Entah, itu ke negara tetangga (PNG) atau ke kampung-kampung terdekat.
Pihak Dewan Adat meminta kepada pemerintahaan daerah mulai dari tingkat kampung, distrik hingga pemerintahaan di Kabupaten Pegunungan Bintang bertanggungjawab sepenuhnya menangani pengungsian. “Harus ada koordinasi antara pihak lintas sektor menyangkut penanganan pengungsian. Saya lihat sampai hari ini, tidak ada niat baik dan serius untuk duduk bersama dan melihat duduk persoalannya,”ungkap Yohanes.
Yohanes menilik akar masalah di Kiwirok, sejak peristiwa itu terjadi belum jelas apa penyebabnya? Menurutnya, kalu masyarakat dari Kiwirok yang datang ke Oskibil dan dikatakana sebagai pengungsi. Berarti jelas juga penanganan dan soal datanya.
Yohanes mengaku bahkan sampai ditemui spp.id, tidak ada data yang lengkap di tangannya. Pihaknya kesulitan untuk memastikan kepada pihak-pihak terkait yang menanyai data pengungsi kepadanya.
“Mereka ini, mau dibilang pengungsi juga tidak jelas. Sedangkan mereka yang tinggal di lingkungan Gereja GIDI hanya dua tiga hari saja. Lalu pergi mencari tempat sendiri di keluarga. Apakah ini dikategorikan pengungsi? Setelah mereka menyebar ke rumah keluarga, ada yang bertanggungjawab secara moril dan materil? Saya secara pribadi merasa sangsi,” tegas Yohanes.
Dalam laporannya kepada Dewan Adat Papua, pihaknya hanya melaporkan secara gambaran umum saja. “Sebenarnya, pihak distrik dan kampung yang mestinya memberikan laporan berupa data tentang warganya kepada kami Dewan Adat atau pihak-pihak terkait. Kami sangat prihatin dengan kondisi warga yang hingga memasuki bulan ke-3 (September-Desember). Bagaimana nasib mereka? semua kembali pada pemerintah, mulai dari kepala kampung, distrik,hingga bupati, semua harus bertanggungjawab terhadap nasib pengungsi Kiwirok.”
Kesimpangsiuran data para pengungsi Kiwirok juga diakui Perwira Penghubung Organik Kabupaten Pegunungan Bintang, Kodim 1715 Yahukimo, Mayor Infantri, P.H.B.B. Panjaitan kepada spp.id. ketika ditanyai soal data pengungsi.
“Kita tidak bisa katakan (warga Kiwirok) yang datang ke Oksibil ini pengungsi. Kalau pengungsi, harus ada tempat khusus untuk mereka. Dan di situ didata. Ini, tidak demikian. Tidak bisa dikategorikan pengunsian, karena tidak ada tempat kumpul yang jelas,” kata Panjaitan.
Menyangkut data pengungsi menjadi masalah untuk saat ini. Sebab, semua tidak memiliki data yang jelas. Komunikasi antara Panjaitan dengan koodinator penanganan pengungsi Kiwirok, Nelson Nawipa.
“Sudah saya tanya Nelson tentang data pengungsi. Dia mengaku tidak memiliki data yang akurat. Katanya, dia kesulitan mendata warga pengungsi. Hanya menyampaikan, pengungsi tersebar di 16 titik di Oksibil, itu saja. Sedangkan, dari pihak kami (TNI) sebenarnya mau mendata, tapi, kami juga agak kesulitan.”
Dari pengalaman Panjaitan, misalnya pada satu titik kumpul pengungsi. Sebelumnya dikabarkan ada 9 orang pengungsi. Setelah tim ke sana, tidak sesuai dengan jumlah itu. Kadang hanya ada 5-6 orang saja. Sering tidak sesuai dengan jumlah yang disampaikan koodinator.
“Saat kami membantu mendistribusikan logistik dari posko ke tempat tinggal pengungsi tidak jelas datanya. Bagaimana dengan kepala kampung, distrik di sana?
Bisa dikatakan tidak jelas. Kita mau menyatakan fungsi dari pemerintahaan kampung sendiri seperti apa?”
“Saya tanya kepada beberapa warga Kiwirok yang kami temui di Oksibil. Siapa pelakunya, jawabanya tidak tahu. Ketika kejadian kami langsung lari ke hutan begitu jawaban mereka,” ujar Perwira Pengubung, Mayor Infantri, Panjaitan di kantornya.
Yang namanya konflik di manapun pasti warga sipil menjadi korban. Hal itu disampaikan Kapolres Pegunungan Bintang, AKBP Cahyo Sukarinto, S.IK,M.KP. Bisa dilihat dari sejumlah fasilitas (pendidikan, kesehatan dan lainnya) yang biasa diakses masyarakat. Akibat konflik, semua menjadi terhenti. Misalnya, akses kesehatan.
“Bgaimana mungkin mama-mama yang mau melahirkan bisa ditolong tenaga medis. Begitu pula yang balita tidak bisa dapat imunisasi dan lainnya. Sementara akses kesehatan dibakar. Petugas kesehatannya tidak ada. Mereka keluar dari situ.”
Dengan melihat kondisi geografis di daerah Pegunungan Bintang yang memiliki 34 Distrik. Yang bisa diakses dengan jalan darat antar satu distrik dengan distrik lain hanya ada di 5 distrik.
Di sisi lain, Cahyo melihat dampak lain menyangkut akses pendidikan. “Kita ingin supaya adik-adik yang sekolah, mereka bisa difasilitasi. Bukan malahan dihancurkan,”kata Cahyo.
Untuk itu, pihaknya minta kepada pemerintah daerah yang lebih tahu situasi dan kondisi masyarakat di sana. Sebaiknya segera melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh, supaya kondisi yang sulit di pegunungan Bintang bisa dibicarakan bersama untuk mencari solusi.
Sejak terjadinya pelarian ke Oksibil, pemerintah tidak menyediakan tempat khusus untuk mereka. Itu yang dikomentari Pastor James Immanuel Kossay, ia berani mengatakan demikian.
“Pemerintah sendiri tidak pernah menyediakan pos pengungsi yang jelas. Kalau dibilang pengungsi. Idelanya menurut Pastor James bukan sekedar di tampung di Posko yang ada di Gereja GIDI. Setidaknya ada fasilitas khusus yang dibuat untuk menangani trauma healing. Kan, sampai hari ini tidak ada,” kesan Pastor Dekanat Pegunungan Bintang selaku Pastor Paroki Roh Kudus Mabilabol, Oksibil. Pastor James Immanuel Kossay,Pr, ketika ditemui spp.id di Oksibil.
Yang dikatakan pengungsi itu, harus mendapatkan pendampingan khusus. Supaya mereka bisa keluar dari situasi hidup yang berat. “Saya sangat percaya, setiap mereka yang mengalai trauma (mengalami peristiwa itu) tidak akan hilang dalam waktu sekejap. Itu tadi, sebelumya sudah ada “luka-luka” peristiwa masalalu.
Pastor James sempat menyambangi para pengungsi di posko. Yang dilihanya, kebanyakan pengungsi dari Kiwirok adalah anak-anak. Pastor sempat bertanya,”apakah dalam waktu dekat akan kembali ke Kiwirok,”?
Jawaban pengungsi,“kami masih rasa takut untuk kembali ke Kiwirok. Apalagi situasi di sana benar-benar tidak memberikan keamanan kepada kami,” mengulang apa yang dituturkan pengungsi kepada Pastor James.
Peristiwa Kiwirok seperti mengulang peristiwa sebelumnya, pernah terjadi operasi militer mulai dari wilayah Kiwirok hingga ke Distrik Batom.
“ Luka itu masih membekas. Mereka betul-betul seakan kembali ke peristiwa masalalu. Dan hari ini, ada yang masih hidup dan kembali mengalami peristiwa Kiwirok. Narasi-narasi setiap peristiwa itu kemduian diceritakan kepada anak, cucu mereka. Dan ketika kejadian itu terjadi lagi. Kecemasan itu benar-benar terjadi dan membuat mereka harus mengungsi.”
Sejak itu, sebagian besar warga mengungsi ke PNG. Pada 2008 atas komunikasi dengan Uskup Keuskupan Jayapura Leo Laba Ladjar, OFM dengan Uskup Vanimo (PNG) waktu itu. Membuat sebagian warga kemudian dipulangkan ke Kiworok dan sekitarnya.
“Ada yang ke Oklip ada juga yang ke kampung-kampung tetangga di wilayah Kiwirok besar. Mereka tesebar di Oklip, Okhika, Kotyobakon, Okyop, Oksip(wilayah Ambisibil) ada juga yang samapai ke wilayah Kubibkok. Ada sebagian yang ke arah wilayah Ketengban di Mongham. Yang lainnya berpencar ke Tinibil (masuk kabupaten Pegununagan Bintang).”
Mereka yang datang ke Oksibil adalah umat yang banyak melarikan diri ke Oksibil. Dan terbagi atas dua kelompok agama: Katolik dan GIDI. Yang Katolik kata Pastor James, “mereka datang ke sini dan melapor diri tentang keberadaan mereka di Oksibil. Mereka itu tersebar di beberapa komunitas basis(kombas).
“Saya juga sampaikan kepada umat di tiap kombas di mana ada sudara-saudari dari Kiwirok. Tolong dibantu.”
Memyikapi pasca peristiwa Kiwirok, pihaknya juga membuat seruan moral kepada pihak-pihak terkait.
Pertama, dalam hal ini (Bupati Pegunungan Bintang, DPRD yang membidangi pesoalan tersebut) supaya memberikan perhatian dan perlindungan serius bagi warga yang sudah ‘mengungsi’ dari tanahnya.
Kedua, segera membentuk dan mengirim tim independent untuk melakukan investigasi mengenai konflik tersebut.
Dari ribuan pengungsi yang ada di Papua paling banyak adalah anak-anak dan perempuan. Disoroti Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), Latifah Anum Siregar kepada media di Papua yang dikutip tssp.id (17 Desember 2021-Cendrawasih Pos).
Para pengungsi ini mencari jalannya sendiri-sendiri. Sebab, minimnya peran pemerintah disetiap konflik di daerahnya.Sudah seharusnya ditanggapi dengan serius oleh pemerintah.
Situasi di daerah konflik yang menjadi korban adalah warga sipil yang mencari jalannya masing-masing. Mereka ini adalah kelompok yang paling rentan saat konflik. Mereka mencari keselamatannya sendiri karena negara gagal melindungi mereka.
Apabila penanganan para pengungsi tidak ditangani secara baik. Contohnya seperti pemenuhan hak dasar mereka untuk mendapatkan akses kesehatan dan pendidikan akan berakibat fatal. Sebab, daerah-daerah yang terjadi konflik hingga adanya pengungsian adalah daerah dengan pelayanan publik yang sangat rendah.
“Ini kemudian menjadi kompleks persoalannya, sehingga ketika terjadi konflik mereka sama sekali tidak terlindungi. Padahal, pemenuhan kebutuhan dasar dan perlindungan keamanan yang utama adalah tugasnya pemerintah. Itu undang-undang yang berbicara,” tegas Anum.
Pada kondisi biasa saja, sebelum adanya konflik kata Anum, aktivitas sekolah dan fasilitas kesehatan tidak berjalan baik di daerah tersebut. Apalagi ketika adanya konflik. Dengan melihat kondisi tersebut, bagaimana pemerintah secara emergency untuk segera menangani pengungsi di wilayah-wilayah konflik.
Para pengungsi sebaiknya, diajak kembali ke kampungnya. Dengan memberikan perlindungan keselamatan untuk mereka.
“Cara pemerintah yang mengabaikan warganya di lokasi pengungsian bisa berpotensi untuk mereka bergabung dengan kelompok OPM.Yang paling terpenting, para pengungsi ini tidak diberi stigma apapun. Pemenuhan hak dasar mereka harus terpenuhi seperti pendidikan, kesehatan, makan minum dan tempat tinggal.”
Anum mengatakan,”mengabaikan warga di daerah konflik terutama mereka yang mengungsi bagian dari pelanggaran kejahatan, pelanggaran yang dilakukan pemerintah dengan mengabaikan hak hak mereka.”
Sebagaimana kata Anum, warga sipil di beberapa daerah di Papua sebagai korban konflik dari dua kekuatan bersenjata yaitu TNI-Polri dan OPM. Dua kekuatan ini kerap berkonflik di ruang publik.
“Warga sipil di daerah konflik kerap menyaksikan kematian dan ruang-ruang publik digunakan untuk aksi kekerasan, sehingga tak sedikit masyarakat sipil menjadi korban,” dikatakan Anum.
Di mana perlindungan hak terhadap anak ketika peristiwa konflik bersenjata terjadi di Kiwirok? Hak anak juga menjadi kewajiban negara sesuai dengan ketentuan “negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati Hak Anak” sebagaimana diatur pada pasal 21 ayat (2), UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perlindungan terhadap hak hidup anak dalam konflik bersenjata menjadi kewajiban hukum negara. Melalui pemerintah pusat, Provinsi Papua, pemerintah daerah kabupaten.
Kepada spp.id Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH-Papua) Emmanuel Gobay menyikapi Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tidak melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak dalam situasi konflik bersenjata.
Sampai saat ini, menurut Gobay belum ada satupun upaya yang dilakukan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia untuk melakukan pengawasan terhadap Pelaksanaan Perlindungan dan pemenuhan hak anak dalam situasi konflik bersenjata di Papua dan terlebih khusus di Pegunungan Bintang.
Padahal secara hukum perlindungan anak dalam situasi konflik bersenjata merupakan tanggungjawab negara berdasarkan perintah ketentuan. Sesuai dengan kewajiban-kewajiban mereka menurut hukum humaniter internasional untuk melindungi penduduk sipil dalam konflik bersenjata.
Maka, negara-negara pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin perlindungan dan pengasuhan anak-anak yang dipengaruhi oleh suatu konflik bersenjata. Sebagaimana itu diatur di pasal 38 ayat (4), konvensi tentang hak-hak anak yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia kedalam Kepres Nomor 36 Tahun 1990 tentang pengesahan Konvensi mengenai hak-hak anak.
Secara teknis perlindungan anak dalam situasi konflik bersenjata yang harus dilakukan oleh pemerintah. Itu telah diatur dalam ketentuan “pemerintah, pemerintah daerah dan lembaga negara lainnya.
Sampai dengan berita ini diturunkan spp.id, Bupati Pegunungan Bintang,Spey Yan Bidana belum memberikan komentar meski spp.id telah menghubunginya untuk mengonfirmasi terkati penanganan Pengungsi Kiwirok. *** (Fonsa Wayap)