Suaraperempuanpapua.id—DEPARTEMEN Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik menggelar diskusi publik yang dilakukan dengan tema, “Demografi, Pemekaran dan Pembangunan Papua” pada Sabtu 16 September 2023 kemarin. Diskusi publik ini menghadirkan pembicara : Ahli Demografi Politik Dr. Riwanto Tirosudarmo, Dosen Antropologi Universitas Negeri Papua (Unipa) Manokwari, Dr. I Ngurah Suryawan dan Dekan Fakultas Sains Universitas Okmin Papua, Octoviaen G.Bidana, SPd, MPd. Diskusi publik ini, dilakukan secara online (dalam jaringan) yang diikuti 45 peserta dari berbagai tempat.
Ketua Departemen Gugus Tugas Papua, Melkior Sitokdana dalam sambutan pembuka mengatakan, “Dengan melihat dinamika pemekaran di Papua. Adanya diskusi ini sekiranya dapat menambah wawasan serta kekritisan kita. Kami merasa perlu adanya sumbangsi pemikiran melalui diskusi ini. Tentunya demi kemajuan dan kebaikan bersama,” pesan Melkior.
Dilanjutkan sesi materi. Webinar dipandu oleh Ketua Bidang Perempuan dan Anak Pengrus Pusat, Alfonsa Wayap,
dalam kesempatan itu, Dr. I Ngurah memaparkan terkait fenomena pemekaran yang terjadi di Papua. Ditumpangi politik ekonomi— pergerakan kapitalis.
Bukan hanya itu,”Terjadi perebutan posisi jabatan mulai dari tingkat kampung,distrik,kabupaten dan provinsi. Untuk pemekaran kampung, parahnya lagi ada tuntutan mesti sesuai dengan kelompok suku. Di sini terjadi pengkotak-kotakan. Di situlah perbedaan yang sangat besar di antara masyarakat komunal di Papua.
“Masyarakat komunal yang hidup dalam sejarah panjang secara turun-temurun. Adanya pemekaran daerah otonomi baru, berpeluang mendatangkan migrasi yang masif dari laur Papua. Pemekaran menjadi bias perpecahaan antara masyarakat komunal demi kepentingan.”
Semua akses mulai dari pendidikan, kesehatan dan lainnya akan terfokus di mana banyak terdapat penduduk homogen. Sementara di kampung-kampung berpenduduk orang Papua, di situ terjadi marginalisasi.
“Dampak lain dari pemekaran, membuka peluang terjadinya lingkaran kekerasan di Papua. Pembangunan yang sentralistik di kawansan migran. Itu yang disebut dengan pembangunan bias migran,” kata Ngurah.
Ngurah melihat hal mendasar yaitu pentingnya pendidikan bagi anak Papua. “Pendidikan menjadi peranan utama untuk mengelolah sumber daya yang ada. Mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Ada sekian universitas di Papua. Anak muda Papua, ketika kuliah bukan hanya sekedar mengejar ijazah. Tetapi kualitasnya itu yang penting,”
Berbicara pendidikan, ujar Ngurah,” Peran serta Dinas Pendidikan menjadi sentral arah jalannya pendidikan di daerah. Adanya kurikulum merdeka belajar, menurut saya tidak berlaku di Papua. Di Papua harus belajar secara kontekstual,” kesannya.
Ngurah menambahkan, dibutuhkan riset-riset. Dari situ, kita bisa lihat, seberapa besar keberpihakan orang Papua? Dan bagaimana memproteksi mereka mulai dari kampung ke kota.
Kepada pemuda Papua, pesan Ngurah,“Anak muda harus kembali ke kampung. Sebab perubahan sosial dan depopulasi orang Papua jangan dianggap remeh.”
Melihat Papua secara demografi menurut Doktor Riwanto. Diakui bahwa Papua memiliki sejarah yang berbeda dari wilayah lain di Indonesia. Aspek sejarah sangat penting untuk diketahui setiap anak bangsa, terutama anak-anak Papua.
Di Papua harus diakui ada soal politik. “Sejak integrasi Papua ke dalan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)—(1969). Telah terjadi resistensi dan diskriminasi ras. Bisa dilihat dari proses pembangunan ekonomi. Orang Papua tidak diajari menjadi pelaku ekonomi—wirausaha di negerinya sendiri. Papua punya kekayaan alam. Orang Papua menjadi penonton dari apa yang terjadi di tanahnya sendiri,” Papar Doktor Riwanto.
Hasil risetnya menunjukan akibat migrasi yang masuk ke Papua telah terjadi pertumbuhan penduduk di Papua yang cukup tinggi. Misalnya di Sorong, dari catatan risetnya menunjukan penduduk Papua hanya ada 23 persen.
Katanya, “Jadi, jumlah selebihnya adalah penduduk migrasi. Berangkat dari realita tersebut. Dikatakannya, di Papua tengah terjadi proses dekolonisasi dan marginalisasi sosial. Politik resistensi dan diskriminasi ras.”
Menurutnya, telah gagal mensejahterakan masyarakat Papua. Dan yang namanya politik resistensi akan terus berlangsung. Ada juga Pembentukan konsep tentang OAP dan non-OAP, bagi saya, itu penempatan istilah yang buruk.
Sejauh ini, ada pandangan yang keliru oleh pusat. Pembangunan dan pendekatan militeristik. Rasa aman, dihargai. Bukan malah membuat orang Papua merasa tidak aman. Hidup dalam ketakutan. Seakan hak untuk mendapatkan rasa aman tidak ada di Papua bagi orang Papua.
Dikatakan, kepada orang Papua, harus ada usaha, penting untuk menyadari potensi diri. Pentingnya melakukan riset adanya Otsus di Papua.
“Supaya, kita tidak melihat masalah dari luar saja. Tetapi dari dalam orang Papua sendiri juga. Perlu ada outokritik (keritik terhadap diri sendiri). Masalah tidak datang dari luar , tapi datang dari diri sendiri. Apa yang mesit dilakukan, harus ada negosiasi di Papua soal diskriminasi,”pesannya diakhir diskusi.
Sementara itu Gerald menitik beratkan pemekaran pada proses pembangunan yang tidak ramah lingkungan. Migrasi sudah terjadi. Peluang bagi para migran untuk mendapat indentitas kependudukan (KTP) sangat gampang.
“Dengan melegalkan peluang itu. Mereka lebih leluasa menguasi berbagai sektor di Papua. Untuk itu, anak muda Papua perlu melihat pemekaran dari sisi peluang dan tantangan. Harus memiliki keterampilan diri. Jangan biarkan UU Otsus Jilid II, dibiarkan berlalu begitu saja. Harus juga membekali diri dengan bersikap kritis di tengah situasi kiris.”
Di sela ruang tanya jawab. Penanggap Pertama, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua Selatan (PPS), Aloysius Jopeng, menyentil detail potret pendidikan di Papua Selatan.
Tanggapan Kadis Pendidikan PPS, “Setelah adanya pemekaran di setiap wilayah menurutnya, dari segi pendidikan diakui sangat kurang. Penyerapan pendidikan orang Papua hanya ada di kampung-kampung. Perhatian pemerintah mesti serius dalam rangka pengembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) PM di Papua Selatan.”
Tentunya, ada sebuah konsekuensi dari sebuah pekemaran. Diakui, runag diskusi semacam ini (webinar) diperlukan.
“Agar kita dapat melihatnya dari perspektif lain. Sebagai masukan bagi kami. Memang diperlukan komitmen untuk pengembangan pendidikan bagi orang Papua,” kesannya.
Kedua, oleh Max Binur. Ditegaskan kembali penting dilakukan riset dengan tujuan menyadarkan orang Papua tentang sejauh mana keberpihakan implementasi Otsus?
Sementara, penyerapan biaya pendidikan bagi anak-anak Papua. Jauh dari harapan. Banyak anak Papua berhenti sekolah lantaran kendala biaya.
“Saran saya, untuk memproteksi orang Papua mulai dari kampung-kampung orang asli Papua. Sudah dan menuju perubahan soial dan juga depopulasi orang asli Papua di negerinya sendiri. Anak muda Papua harus punya keterampilan dasar (minimal sekolah kejuruan). Lalu, kembali ke kampung, kelola alammu di sana,”tutup aktivis dan budayawan Papua.[] Alfonsa Wayap