suaraperempuanpapua.id-SISKA ABUGAU perempuan asal suku Migani, Kabupaten Intan Jaya. Sejak kecil ia memiliki semangat untuk sekolah. Sementara orangtua telah menentukan pasangan hidupnya—di jodohkan saat berada di kelas empat SD. Anak laki-laki pilihan orangtua, bernama Herman Muzijau.
Siska bertumbuh dalam pengawasan orangtua. Ayahnya seorang kepala suku besar. Tugas lainnya adalah Katekis (pewarta) Katolik di kampungnya. Niat Siska begitu besar untuk bersekolah itu yang disampaikan kepada suaraperempuanpapua.id medio November 2021 di Jayapura.
“Meski telah dijodohkan, bapa masih mengijinkan saya untuk tetap sekolah. Saya sekolah di SD YPPK Titigi. Dari kampung Mamba kampung asal saya, saya harus berjalan kaki menempuh 4-5 kilometer melewati gunug, sungai dan ngarai untuk sampai ke Titigi. Saya melakukannya dengan senang dan keinginan besar untuk sekolah.”
Situasi masa itu, masih terjadi perang suku antar kampung. Akibatnya, Siska dan kawan lainnya harus berpindah-pindah sekolah—di tahun 1975. Belajar menggunakan buku jenis kalam batu. Yang ditulis dan dihapus sekali. Masa peralihan dari kalam batu ke buku tulis.
“Menulis pelajaran matematika dan lainnya. Setelah selesai, kami diminta untuk menempel hasil belajar hari itu di testa (dahi) sebelum dihapus. Makanya, kami cepat mengingat setiap mata pelajaran.”
Siska tetap berjuang dengan semangat. Bila kekurangan alat tulis dan lainnya. Dia membantu ibunya dengan berjualan betatas (ubi). Semua dijalani dengan penuh rasa syukur.
Di sekolahnya, banyak murid laki-laki. Dalam benak Siska, benar juga, kalau orangtua sering melarang anak perempuannya untuk sekolah. Bermula dari membaca buku yang berjudul,”tupai makan kelapa,”terbitan Balai Pustaka. Di dalam buku itu, Siska melihat gambar perempuan yang mengenakan kacamata, rambut diikat terarur, menggunakan jam tangan dan berpakaian layaknya guru.
Titus Edowai, dia kepala sekolah di SD YPPK Titigi. Dia melihat Siska sedang membaca buku itu, tetapi tidak berpidah halaman buku. Hanya fokus di gambar itu saja. Guru Edowai bertanya,”Siska, apa yang ko lihat dari gambar itu?“Pak guru, ini gambar perempuan atau laki-laki?” Itu perempuan. Dia ibu guru. Ko juga bisa jadi seperti dia, kalo ko belajar baik dan terus sekolah, kelak akan menjadi seperti dia.”
Siska hanya terkesima dengan gambar itu, sambil terus memimpikan suatu kelak bakal seperti ibu guru di gambar tadi.
Suatu-waktu, dia melewati sebuah sekolah berjendela kawat has. Sambil berjalan memikul betatas. Dia melewati samping sekolah. Sementara ada seorang ibu guru yang menurut Siska, dia ibu guru baru yang mengajar di situ. “Saya terkejut melihat ibu guru itu. Sambil memikul betatas dengan tetap berdiri. Saya terus menatap ibu guru. Dia persis sekali seperti gambar di dalam buku yang saya lihat. Dia menggunakan jam tangan, berpenampilan rapih. Pokoknya semua persis seperti pada gambar. Tapi, dia menggunakan sepatu air (jenggelbot), karena sekolah itu becek.”
Beberapa menit kemudian, ibu guru keluar dan menghampiri Siska. Katanya,”hai anak yang baik, apakah kamu sekolah?” “Iya mama, saya sekolah. Tapi, hari ini, saya tidak sekolah, karena perlu peralatan tulis. Jadi, saya bawa betatas untuk dijual.” “Ibu dan bapakmu bernama”? “Martha Migau dan bapa Abugau”
Mendengar jawaban itu, ibu guru yang bernama Sofia Petege langsung mengenali kedua orangtuanya.
Jawab ibu Sofia,” rupanya mereka dua adalah kawan sekolah saya di Epouto ketika sekolah jaman Belanda.”
Sofia sempat mengirim surat kepada kedua kawannya—bapa dan mama Siska. Yang isinya, dia telah bertugas di Titigi. Siska juga sempat tinggal beberapa waktu bersama Sofia ketika dia kelas enam SD YPPK Titigi (1983). Artinya, selepas itu, dia harus melanjutkan sekolah di SMP Moanemani.
Siska menyampaikan impiannya kepada ibu guru Sofia. “Ibu guru, sa ingin sekali sekolah SMP dan jadi ibu guru. Tapi, bapa menginginkan saya harus kawin dengan orang yang dia tentukan.”
Mendengar niat Siska, Sofia yang sangat paham budaya setempat, tidak ada kesempatan sekolah bagi perempuan Migani. Siska harus melanjutkan sekolah dan menjadi ibu guru yang akan menggantikan dia.
Di masa itu, perempuan dianggap siap dikawinkan, ukurannya adalah buah dada (susu) yang tumbuh. Yang paling banyak sekolah saat itu, laki-laki. Perempuan hanya beberapa saja.
Perempuan masih berada dalam bayang-bayang stigmatisasi yang keras. Perempuan tidak boleh sekolah, harus kawain. Siska mencontohkan,” seperti kakak perempuan saya. Dia dikeluarkan paksa dari sekolah dan dikawinkan. Dia sempat melawan dan lari. Betisnya harus dipanah. Tujuannya, supaya tidak bisa lari. Dengan demikian, kakak harus ikuti kemauan orangtua,”kenang Siska.
Peristiwa itu, cukup membuat trauma Siska perempuan kelahiran, 9 Desember 1969. Hari-hari dilalui dengan terus bertumbuh. Siska yang fasih berbahasa Indonesia, sering dipercaya menjadi penerjemah—bahasa Indonesia-Bilogai (Moni)—bagi misionaris asing untuk kepentingan gereja atau petugas pemerintah yang datang ke kampungnya.
Pada suatu ketika, ayah Siska membawa seekor babi untuk diberikan kepada ibu guru Sofia. Ayah Siska sempat mengalami sakit parah dan mendapat pertolongan dari ibu guru Sofia, dengan pengetahuan lainnya mengenai penanganan secara medis. Ia menolong kawan sekolanya (ayah Siska). Di jaman itu, perputaran uang belum begitu banyak beredar di kampung.
Ayah Sisika memiliki banyak ternak babi. Ia membunuh satu ekor dan mengikatnya lalu mengantarnya ke rumah ibu guru Sofia. Sampai di depan rumah, Sofia melihat babi telah di letakan.
Sofia sambil memegang tali yang diikat pada leher babi itu dan berkata kepada ayah Siska begini,” kawan,bapa yang terkasih. Saya tidak minta kulit kerang (mas kawin) yang kamu miliki atau inginkan dari anak perempuanmu. Saya mau Siska harus melanjutkan sekolah SMP dan setelahnya, dia masuk SPG di Jayapura untuk menjadi guru dan akan mengganti saya. Itu saja!” Mendengar kata ibu guru Sofia. Ayah Siska hanya menjawab,”baiklah, kita lihat saja, kalau dia lolos seleksi di Moanemani.” Nasib Siska berjalan lancar. Ia dinyatakan lolos seleksi masuk SMP di Moanemani. Untuk sampai ke Moanemani, Siska menggunakan pesawat Cesna berukuran kecil yang dipiloti Werner. Sebelum berangkat, ayahnya memberikan uang yang dimiliki ketika itu sebesar Rp 50.000(lima puluh ribu rupiah). “Ini ada uang Rp 50.000 ko (kamu) pake ini pergi sekolah sampai ko bawa pulang Ijazah. Selamat jalan, sambil meminta tolong pilot menurunkan anak ini di Moanemani. Di Moanemani, ia tinggal di susteran bersama beberapa pengasuh dan suster Sipriana. Tahun 1986, tamat SMP. Dia berkeinginan melanjutkan sekolah di SPG Taruna Bakti. Alasannya, setelah lulus, langsung diberikan SK mengajar. Jadi, tidak perlu melakukan proses tes.
Sudah masuk SPG, baru tahu, tidak ada SK. Siska menuturkan,” jadi, kami harus melanjutkan pendidikan guru di PGSD Universitas Cendrawasih (1992). Saya masuk PGSD waktu itu angkatan ke dua. Selesai,1995. Sempat melakukan tes Calon Pegawai Negeri Sipil CPNS (1990) saya lolos seleksi. Dan ditugaskan di Distrik Mulia—masih masuk Kabupaten induk, Nabire. Kini Kabupaten Puncak Jaya.
Siska memilih tidak pergi bertugas di Mulia. Atas ijin Kepala Dinas Pendidikan di Nabire. Ia dipindahkan kembali ke daerahnya (Intan Jaya).
“Saya perempuan pertama yang melawan budaya perempuan kampung dilarang untuk bersekolah dari suku Migani. Saya berani dan mau keluar dari stigma,”perempuan Migani tidak boleh sekolah-harus kawin. Saya bisa seperti ini, lantaran sebuah kemauan dan juga pertolongan ibu guru Sofia Petege.
suaraperempuanpapua.id mengutip dari Buku ”Perempuan Kampung Dilarang Sekolah,” karya Nunias Selegani dalam kata pengantar seorang guru Besar Pemikir Ideologi Pikiran Milenial Kota Ambon (Dobo), Gally Esau Lefumonay menulis.
“Seseorang harus memiliki keyakinan, kesehatan pikiran dan mental serta kepercayaan diri yang kuat untuk meraih pendidikan yang diinginkan. Penting sekali bagi kaum muda putra dan putri Papua kembali membaca perjuangan para orang tua. Di saat pendidikan menjadi tawar bagi mereka di masa itu. Semua yang tumbuh di kehidupan lalu adalah teori terbesar yang perlu untuk dipelajari kembali.”
Siska bisa melewati semua masa-masa sulit di mana anak perempuan masih dipandang sebagai asset untuk mendatangkan harga (mas kawain) bagi keluarga dan sanak saudara dari kedua belah pihak.
Siska selama bersekolah di SPG Taruna Bakti Waena. Dia mendapat jodoh yang adalah seorang gurunya; guru Jhon Mirip. Dari pernikahaan keduanya,mereka dikaruniai tiga anak: Siprianus, Kristin dan Roberto.
Tugas pertama sebagai guru, Siska mengajar di SD Bilogai. Tempat ia bersekolah dulu. Di situ Siska tidak lama mengajar. Di tengah proses mengajar, anak ketiganya, Roberto mengalami sakit. Dia memutuskan untuk kembali mengajar dan menetap di Jayapura. Siska bertugas di SD Inpres Perumnas II, Waena.
Pada tanggal 1 Desember 2010, ia mendapati mayat lelaki kelahiran 28 November 1991 yang sengaja digeletakan di depan rumah guru, kompleks Taruna Bakti. Dia adalah Siprianus.
Dua hari sebelumnya, putra pertamanya itu sempat mengantar ibunya ke toko Topaz Waena. Sebelum menumpangi motor yang dikendarai Sipri, spontan saja anaknya mengatakan,”mama, mama itu cocok bergabung di MRP atau DPR.” Ah, ko menilai saya dari apa? ” tanya mama kepada Sipri. “Mama sering ikut demo-demo. Mama suka bicara soal kemanusiaan. Jadi, mama cocok di dua posisi itu,” jawab Sipri.
“Baiklah anakku. Mama akan pakai otakmu dan ilmu yang kau dapat. Mama akan coba sesuai arahanmu,” usai mengiyakan maksud putra keduanya berjalan pulang. “Saya tidak percaya akan kematian anak saya. Saya tidak mau balaki (menyalahkan) manusia. Tetapi semua kemarahaan saya itu, saya curahkan kepada Tuhan Yesus dan Bunda Maria. Sebab, saya menyadari bahwa tidaklah demikian yang harus saya lakukan. Perlahan saya lebih banyak mendoakan Sipri,” ungkapan sedih yang masih hangat dalam ingatan ketika mengutarakannya kepada suaraperempuanpapua.id, air matanya tak terbendung.
Dalam keadaan duka, melalui sebuah mimpi. Sipri sapaan akrabnya datang menghampiri ibunya dengan membawa sebuah tas hitam, bertuliskan MRP dan berkata, ini tas mama,”
Siska merasa, semua rencana dan harapan seperti telah pupus dengan kepergian Sipri. Siska yang dalam keadaan duka, ayahnya (kakek) Siprianus yang juga datang dari Bilogai ke Jayapura. Usai pemakaman dan 40 hari. “Bapa minta saya untuk ikut pulang ke kampung. Di sana bertemu keluarga dan ada rasa duka bersama. Saya ikuti bapa pulang ke kampung. Awal tahun 2011 ada perekrtutan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Jilid II-tahun 2011.
Dari kampung datang tawaran kepada nya untuk mengikuti pencalonan anggota MRP. Tawaran itu, ditolak Siska dengan alasan,”saya masih duka. Saya tidak mau menjadi apapun.
Menurutnya, cukup Siprianus yang pergi. Siapapun engkau yang dibunuh, disiksa, dilihatnya bagian dari penyiksaan yang pernah dialami Siprianus.
“Saya tetap kuat untuk bekerja demi banyak orang yang mengalami penindasan. Perasaan seorang mama, ketika anaknya dibunuh, di penjara dan disiksa. Harus kita lawan segala bentuk inilah jawaban kegelisahaan hati saya dalam menghadapi realitas kehidupan di negeri Cendrawasih.”
Petunjuk dalam mimpi itu telah mengantar Siska masuk ke lembaga MRP Jilid II. Meski banyak pergumulan yang terus digumuli dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat yang terdindas, terintimidasi. Prinsip Siska, hari ini harus ada sesuatu yang bisa dilakukan. Masih banyak yang harus dikerjakan demi Bonum Commune (kepentingan bersama). Saat ini sebagai Wakil Ketua Kelompok Kerja Perempuan di MRP.
Kiprah Siska tidak diragukan lagi. Menilik rangkaian kisah perjalanan pendidikannya. Rupanya belum selesai sampai di situ. Ia masih punya keinginan untuk melanjutkan jenjang pendidikan di Universitas Cendrawasih (Uncen). Istri dari Jhon Mirip, akhirnya masuk kuliah di Fakultas Hukum Uncen 2014 lalu.
Selama dua tahun lebih berada di dunia kampus. Selama itu, ibu tiga anak ini mulai melihat perbedaan yang jauh antara lingkup sosial masyarakat dan dunia kampus. Dia sempat berkomentar terhadap dosen-dosen yang mengampuh beberapa mata kuliah di fakultasnya.
“Saya tidak mau lanjut kuliah dan berangkat ke Amerika tahun 2015. Ketika di MRP, tahun 2018, dosen mata kuliah saya sempat bertanya, Siska mengapa tidak melanjutkan kuliah?
Nama kamu masih ada. Sebaiknya, kamu lanjutkan kuliahmu.”
Berkat dukungan dari anak-anak dan rekan-rekan kerjanya. Perempuan berusia 52 tahun itu dengan komit, keseriusan serta didasari kesadaran akan pentingnya pendidikan.
Akhirnya, Siska bisa menyelesaikan kuliahnya. Dan pada 24 November 2021 diwisudakan oleh Rektor Uncen, Dr.Ir,Apolo Safanpo,S.T.M.T. Siska kini menyandang gelar Sarjana Hukum yang perolehnya setelah mempertahankan skripsinya dengan judul,”Pelanggran Kekerasan Dalam Rumah Tangga.” (Alfonsa Wayap)