“Sebagai pimpinan, saya tidak bisa menerima penganiyaan staf saya seperti itu”, ujar Frits Ramandey mengenai penganiayaan staf Komnas HAM Daerah Papua yang dilakukan oleh anggota polisi di Waena, 18 Mei 2017 lalu. Hingga kini penyelesaiannya belum jelas.
TSPP – PERISTIWA penganiayaan staf Komisi Nasional Hak Azasi Manusia Daerah Papua yang dilakukan oleh anggota polisi terjadi pada Kamis, 18 Mei 2017 pukul 05.00 pagi di Waena, Jayapura.
Pagi itu, polisi melakukan penggrebekan di sebuah rumah warga di perumahan pemerintah daerah Bumi Perkemahan Waena, yang diduga sebagai tempat tinggal pelaku pembunuhan, Sumardi, dosen Universitas Cenderawasih Jayapura di tikungan Gedung Pramuka Waena, pada 11 Mei pukul 01.00 dini hari.
Kamis, 18 Mei, korban penaniayaan atas nama Nareki Kogoya, staf Komnas HAM Daerah Papua tidur di rumahnya, yang bersebelahan dengan rumah yang menjadi target penggeledahan polisi.
Penggeledahan dilakukan pukul 05.00 pagi, terdengar agak gaduh karena bunyi mobil dan teriakan orang-orang di luar rumahnya, sehingga korban kaget bangun dari tidurnya. Ia melihat ada banyak orang di rumah sebelah yang penghuninya kebanyakan mahasiswa.
Korban melihat, polisi menarik keluar para penghuni rumah ke halaman, sebagian dari mereka dipukul anggota polisi yang berpakaian preman. Mereka yang kena pukul ada empat orang. Yaitu Etinus Kogoya (18) mahasiwa USTJ, Tim Wenda (19) dan Marton Wenda (18), keduanya mahasiswa Fakultas Fisip Uncen Jayapura, serta Narius Kogoya (32) PNS Kabupaten Lanny Jaya yang sedang berobat di Jayapura, yang menginap di rumah itu.
Keempat orang itu dipukul dan diiterogasi oleh anggota polisi yang berpakaian preman. “Saya kaget keluar dari rumah. Saya katakan, bapa-bapa sabar. Anak-anak mahasiswa itu, mereka tidak tahu masalah. Kita sama-sama akan mencari pelaku, karena pelaku tidak ada di sini”, ujar Nareki kepada anggota polisi.
Saat berkata begitu, dua anggota polisi langsung mengarah ke dirinya dan menginterogasi dengan kata-kata: “Kamu tahu pelaku pembunuh? Ko siapa? dan siapa pelaku, yang ko tahu? Ko jawab!” jawabnya, “saya Nareki Kogoya, Pegawai Komnas Ham Papua. Kita sama-sama bekerja penegak hukum dan HAM, maka untuk mengungkapkan kasus ini kita bekerja sama-sama”, ujarnya kepada polisi.
Walau Nareki telah menyebut identitas dirinya, dan menyatakan ia tidak tahu dengan perisitiwa pembunuhan hari itu, karena hari kejadian, ia tidur di kantor. Namun anggota polisi tidak ambil pusing dengan penjelasannya. Malah, mereka berempat, yakni Tim Wenda, Etinus Kogoya, Marton Wenda dan Nareki Kogoya dinaikkan ke mobil dan dibawa ke Polsek Heram, Waena.
Selama berada di Polsek, mereka diinterogasi berbagai hal terkait dengan pembunuhan dosen Uncen di Waena. Dalam interogasi, polisi juga menyebut nama-nama orang yang diduga sebagai pelaku, tapi Nareki dan ketiga adiknya menyatakan tidak kenal nama-nama orang yang disebutkan polisi. Namun mereka menyatakan bersedia bekerjasama dengan polisi untuk menangkap para pelaku. Tapi polisi tidak mau, malah mereka dituduh melindungi pembunuh Sumardi.
Setibanya di Polsek Heram, mereka dimasukkan ke sel masing-masing dan dimintai keterangan hingga pukul 07.00 pagi. Setelah itu, mereka diberi sarapan, makan kue dan minum. Saat itulah datang seorang anggota polisi dan meminta Nareki untuk tidak melaporkan peristiwa yang dialaminya kepada siapapun. “Bapa jangan lapor kemana-mana ya. Kalau ko lapor, kami akan jebak ko satu pasal dan akan kami penjarakan pak Kogoya. Jadi tolong ya?”, kata salah seorang anggota polisi kepada Nareki.
Nareki Kogoya memberikan keterangan dua kali, yaitu di Polsek Heram dan di Polresta Jayapura, tapi menolak menandatangani berita acara yang dibuat polisi.
Atas kejadian itu, Komnas HAM Daerah Papua melaporkan kasus penganiayaan polisi terhadap stafnya ke Bagian Propam Polda Papua. Kapolda Papua Irjen Pol. Boy Rafli Amar saat ditemui di Gedung Negara Angkasa Jayapura mengatakan kasus sedang dalam proses hingga tuntas.
Nareki yang sudah sembilan tahun bekerja di Komnas HAM Daerah Papua itu berharap perlu ada aturan hukum untuk melindungi pekerja HAM. Bukan berarti pekerja HAM itu kebal hukum, tapi setiap warga negara wajib menghormati hukum di negaranya. “Kasus yang saya alami, saya diperlakukan seolah-olah saya pelaku kejahatan. Karena itu, saya harap harus ada perubahan di kemudian hari yang terjadi di negara ini”.
Plt. Kepala Sekretariat Komnas HAM Daerah Papua, Frits B. Ramandey, yang ditemui di ruang kerjanya mengatakan sebagai pimpinan lembaga Komnas HAM Daerah Papua, sudah berkoordinasi dengan Kapolresta Jayapura. Kasus itu telah dilaporkan ke Propam Polda Papua, dan berharap bisa segera diproses. Siapapun dia, apakah itu anggota Komnas HAM atau siapapun dia, itu tidak kebal hukum. Kalau yang bersangkutan itu dituduh, dicurigai? Itu silakan saja untuk dimintai keterangan. Tapi bukan dengan cara dianiaya.
“Kita anggap yang dilakukan anggota polisi kepada staf Komnas HAM itu di luar prosedur tetap. Kalau anggap polisi punya diskresi ya, tapi kalau yang bersangkutan sudah mengaku sebagai anggota staf Komnas HAM dan sudah bersedia bekerjasama dengan anggota kepolisian, sebaiknya dia tidak boleh lagi mendapat intimidasi dan penganiayaan. Kalau ini tidak diselesaikan, akan menjadi preseden buruk bagi kerja-kerja anggota Komnas HAM dan aktivis HAM, dan lainnya di waktu mendatang”, jelas Frits.
Polisi punya kepentingan untuk meminta keterangan sebanyak-banyaknya kepada siapapun, termasuk staf Komnas HAM. Tapi jangan dilakukan dengan cara-cara kekerasan.
“Tentu kita menolak. Penganiyaan itu membuat dia berdarah. Karena penganiayaan secara fisik. Sehingga ia menderita luka di bibir sebelah atas pecah. Kita sudah lapor ke Propam Polda Papua, dan sudah mendapat atensi dari Kapolda Papua dan juga dari Kapolri memberi atensi untuk segera diselesaikan. Ketua Komnas HAM RI juga sudah komunikasi dengan Kapolri, dan Kapolri sudah memberi atensi terhadap Polda Papua untuk segera diselesaikan”.
Kalau polisi lambat menyelesaikan kasus penganiayaan ini, Komnas HAM Papua akan meminta bantuan Kompolnas untuk menanganinya. “Tapi sekali lagi, kita percaya polisi tidak mungkin akan lambat karena ini dalam kerangka menjaga citra lembaga kepolisian”, ujar Frits Ramandey.
Kasus penganiayaan staf Komnas Hamda Papua oleh polisi terjadi pada 18 Mei 2017 lalu dan hari itu juga sudah dilaporkan ke Bagian Propam Polda Papua. Namun hingga kini belum jelas proses penyelesaiannya.(*).paskalis keagop