suaraperempuanpapua.id – TINDAKKAN rasisme dan penghinaan terhadap kemanusiaan Papua yang terjadi pada 15 Agustus 2019 di Malang dan Surabaya menimbulkan rentetan peristiwa seputar kasus rasisme terhadap kemanusiaan Papua yang cukup menyita perhatian publik tidak hanya di Papua, tetapi juga secara nasional dan bahkan internasional. Aksi rasisme itu terus menjadi perhatian hingga memasuki tahun 2020.
Manusia dan kemanusiaan Papua menjadi sasaran para pihak yang berslogan ‘harga mati’ untuk keutuhan sebuah negara. Pelbagai kisah kelam itu direkam dan ditulis dengan lebih rinci oleh salah seorang pemerhati persoalan Papua yang adalah sesepuh Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Fransisikan Papua (SKPKC FP), Theo van den Broek.
Theo van den Broek, di dalam bukunya, Seri Memoria Passionis No. 30: Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum. Potret Politik Rasialisme di Tanah Papua 2019, menarasikan situasi Papua, yang lebih didominasi kisah perjalanan di Provinsi Papua selama Agustus hingga Desember 2019.
Kronologi rekaman setiap peristiwa yang disusun ini diharapkan dapat membantu para pembaca untuk memahami apa yang sedang terjadi pada durasi lima bulan: Agustus – Desember 2019.
Theo van den Broek, tidak saja memberikan fokus perhatian pada kasus perendahan martabat manusia (rasisme), tetapi juga pelbagai peristiwa yang muncul sebagai akibat dari kasus rasisme yang merendahkan martabat manusia Papua. Cerita-cerita tentang Papua selama Agustus hingga Desember 2019 dipilah dan dianalisa oleh penulis.
Tindakkan rasisme yang terjadi di Malang dan Surabaya berujung pada aksi anti rasisme dan tuntutan keadilan yang terjadi serentak di Tanah Papua, dan juga di luar Papua. Aksi anti rasisme ini berakibat panjang pada manusia Papua dan para pihak yang bersolidaritas akan penderitaan orang Papua.
Para pelaku tindakkan rasisme mendapatkan hukuman yang sangat ringan: hanya dihukum 6 – 8 bulan penjara. Tidak sebanding dengan akibat perbuatan rasis mereka yang menyebabkan manusia Papua – baik orang asli Papua maupun orang non Papua yang ada di Tanah Papua harus mengalami duka yang bertubi-tubi.
Banyak manusia Papua yang menolak tindakkan rasisme yang berujung pada kehilangan nyawa, kehilangan harta benda dan kehilangan kebebasan fisik karena harus mendekam di penjara.
Tindakkan rasisme yang terjadi di Malang dan Surabaya itu membawa dampak besar di Tanah Papua, termasuk penurunan pasukan militer dalam jumlah yang sangat besar ke Papua. Sekira delapan ribuan pasukan gabungan ‘diutus’ ke Tanah Papua sebagai jaminan untuk menjaga keamanan dan memberikan rasa aman kepada masyarakat.
Apakah masyarakat benar merasa aman? Apakah hukuman yang diterima oleh para pelaku tindakkan rasialisme sudah cukup untuk nilai keadilan?
Buku Seri Memoria Passionis No. 38 dengan judul: Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum. Potret Politik Rasialisme di Tanah Papua 2019, membantu para pembaca untuk melihat lagi bagaimana perendahan martabat manusia Papua dan keadilan hukum yang berlaku di negara Indonesia.
Buku yang ditulis oleh Theo van den Broek terdiri dari 12 bab, terdiri dari: Insiden Malang-Surabaya: Noda Awal Rasisme Papua, Drama Papua dan Kemarahan Massa, Reaksi Setelah Demo Antirasisme, Kriminalisasi Veronica Koman, Meredam Gejolak: dari Keamanan hingga Lobi, Eksodus Mahasiswa dan Absennya Peran Pemerintah Sipil, Bara Rasisme di Wamena, Kerusuhan Wamena dan Pelantikan Jokowi, Ekses Politik Usai Kemelut Mereda, Tahanan Politik Fobia 1 Desember dan Politik Pemekaran serta Operasi Militer dan Luka Damai Natal.
Buku ini dipublikasikan secara resmi pada Kamis 2 Juli 2020, dengan menghadirkan tiga narasumber, yaitu: Theo van den Broek, sebagai Penulis, Fiktor Mambor, Jurnalis, dan Gustav Kawer, Pengacara Tapol Aksi Rasisme 2019, serta Beatus Tambaip dari Akademisi sebagai panelis diskusi buku.
Buku Seri Memoria Passionis No. 38: Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum. Potret Politik Rasialisme di Tanah Papua 2019, adalah langkah dan gerak SKPKC Fransiskan Papua untuk tetap melanjutkan tradisi dokumentasi dan mempublikasikan memoria penderitaan yang tak kunjung henti. Dan tetap merawat harapan, sekecil apapun api lilin menyala, ia tetap memberi terang.
Kiranya pandangan dan catatan kritis dari penulis dapat membuka wawasan lain para pembaca untuk mendalami situasi di Tanah Papua.
paskalis keagop