suaraperempuanpapua.id—PELATIHAN Peliputan sektor Keamanan dan Hak Asasi Manusia yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura.
Pelatihan tersebut menurut Ketua AJI Kota Jayapura, Lucky Ireeuw bahwa pelatihan ini diikuti lebih dari 10 wartawan yang datang dari berbagai media yang ada di Kota Jayapura dan luar Jayapura (Timika, Merauke, Jayawijaya dan Sorong).
Pelatihan berlangsung sejak 21-23,Oktober-2021 di Jayapura dengan menghadirkan beberapa pemateri diantaranya, Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay. Yang memaparkan,”bagaimana praktek jurnalisme di Tanah Papua terutama isu-isu HAM, Advokasi Publik dan bebicara tentang Eksistensi Orang Papua.”
Sorotan media terhadap berita-berita sosial politik (sipol) yang dilihat cenderung menjadi liputan wartawan di Papua. Sedangkan, liputan mengenai ekosob kata Emanuel, “saya lihat sangat kurang sekali. Begitu juga dengan kekerasan tehadap perempuan. Tidak banyak yang tulis. Padahal, di Papua bukan hanya Sipol. Masih banyak isu yang harus banyak di angkat.”
Pada sesi itu juga, Emanuel mengkritisi wartawan,“bisa dilihat dari liputan itu (sipol) yang dominan. Dengan begitu, saya bisa mengatakan, itu menunjukan ketidakmampuan jurnalis dalam mengangkat isu-lain, selain sipol,” kritiknya kepada peserta.
Di tambahkan juga menyangkut hukum pers. Di Papua harus ada LBH Pers. Hukum pers itu spesifik, dengan tujuan ada kebebasan pers di Papua. Selain itu, tingkat kekersan dan intimidasi terhadap wartawan di Papua juga cukup tinggi. Maka, menurutnya, perlu untuk mendapat pendampingan secara hukum. Selain itu, soal lain menyangkut kebebasan perss di Papua, belakangan sering terjadi pembatasan informasi.
Ketua Dewan Pers Indonesia,Yosep Stenley Adi Prasetyo melalui sambutan penutup kegiatan mengemukan terkait ekonomi media di Papua, menurutnya tidak “sehat.” Hak atas informasi tidak merata di Indonesia timur atau saya katakan dalam wilayah gelap. Internet tidak bisa diakses. Angka kekerasan ibu dan anak tinggi.
Ada tiga elemen penting diantaranya Pengacara, AJI dan CSO, dikatakan. Ketiganya perlu dilakukan kerja-kerja kolaborasi berdasarkan isu dan data. Kolaborasi dalam melakukan investigasi, sangat penting untuk mencegah konflik.
Stenley melihat “kebiasaan wartawan yang tidak menggunakan data. Tetapi, lebih mengandalkan sumber dari TNI-Polri melalui WA.Wartawan kurang melalukan wawancara langsung ke tempat kejadian. Mencari informasi langsung di masyarakat. Jarang sekali wartawan di Papua melakukan liputan investigatif ke pedalaman Papua,” dikatakan Stenley dalam sambutannya.
Sementara itu, materi lain yang disampaikan oleh wartawan perempuan, Nani Afrida sehari-hari betugas di Aceh. Nani memaparkan tentang “konsep etika peliputan HAM dan praktek jurnalisme damai.”
Yang pertama dan harus dipahami wartawan ketika meliput adalah melepaskan stigma Organisasi Papua Merdeka dan Orang Asli Papua( OPM-OAP).
“Kita sebagai wartawan, tidak bisa memihak sama sekali. Kita juga perlu menulis tidak hanya fakta. Tetapi memberikan solusi. Apabila terlalu lama konflik, kita bisa menulis sudut pandangan lainnya, seperti dampaknya, anak-anak tidak bisa sekolah. Tugas kita, sebagai wartawan, meliput secara damai.”
Nani menegaskan kepada peserta pelatihan. Supaya tidak lagi melihat konflik NKRI- harga mati dan Papua merdeka harga mati. Dalam konteks ini, Nani mengingatkan,”wartawan perlu melihat dari kacamata kemanusiaan. Tidak boleh mengusik lebih dalam hak dari narasumber. Sebab, tidak ada kebenaran tunggal. Kita harus bisa menemukan solusi dari berita-berita yang kita tulis. Kita harus paham konflik di Papua.”
Wartawan punya kewajiban untuk mendidik publik. Harus selalu melakukan verifikasi narasumber. Misalnya,berapa jumlah korban?di mana?. Setelah itu, baru tahap berikutnya, melakukan konfirmasi kepada otoritas gereja, LSM, tokoh masyarakat dan pemerintah. Wartawan harus punya perspektif kemanusiaan.
Diakhir pelatihan, Lucky menegaskan dan mengingatkan peserta tentang pentingnya memperkuat struktur keamanan dan HAM di Papua bagi wartawan.
“Perlu melakukan liputan sektor keamanan di Papua. Isu-isu keamaan sangat beragam. Sebagai wartawan yang betugas di Papua, harus dan wajib memahami akar rasisme dan kaitannya dengan ketidaksetaraan, keadilan dan terus membangun komunikasi.”
Diharapkan kepada peserta, selepas pelatihan. Tidak berhenti sampai di sini. Terus mengasah diri, bisa berkolaborasi dalam setiap liputan. Lucky mewakili AJI di Indonesia, dengan satu visi, akan terus mendukung kerja-kerja wartawan. Itu sudah menjadi komitmen AJI.
“Apa yang kita tulis akan mempengaruhi opini orang diluar sana. Orang di luar sana, ingin mendengar info dari kita di Papua. Liputan kolaborasi sangat penting.” * (Alfonsa Wayap)