suaraperempuanpapua.id – CINTA dimulai dari pandangan pertama. Waktu pertama kali orang Indonesia masuk ke Tanah Papua Barat mau bersahabat baik dengan orang Papua sebagai sama-sama menderita karena dijajah Belanda. Ternyata, setelah masuk melihat seluruh kekayaan Papua yang melimpah. Mereka kaget dan lupa diri lalu menjarah apa saja yang mereka lihat.
Indonesia salah slak. Semula orang Indonesia masuk Papua Barat dengan cara berpura-pura sebagai orang-orang baik. Ternyata, begitu melihat semua barang langka, mereka kaget, lupa diri dan memperlihatkan sikap sesungguhnya: rakus dan ganas. Sikap sesungguhnya itu yang orang Indonesia terapkan di wilayah Papua Barat sejak 1 Mei 1963 sampai sekarang. “Mereka rakus dan ganas. Titik!
Sikap pertama kali yang diperlihatkan orang Indonesia dihadapan orang Papua itu membuat sampai kapan pun orang Papua takkan pernah percaya orang Indonesia. “Mereka penipu dan penjahat”. Kesan itulah yang melekat kuat dalam hati dan pikiran orang Papua terhadap orang Indonesia.
Apa yang terjadi pada 1 Mei 1963 di kota Jayapura, banyak orang menyaksikan dan terus mengenang dan menceriterakannya sampai hari ini dan seterusnya. Pastor Frans Lieshout OFM, seorang misionaris asal Belanda tiba di Papua Barat pada 18 April 1963 dan bertugas di Keuskupan Jayapura hingga pensiun pada Oktober 2019. Pada 28 Oktober, dia pulang ke Belanda dan meninggal pada 1 Mei 2020 dalam usia 85 tahun.
Setelah pulang ke Belanda dan sebelum menghembuskan nafas terakhir, Pastor Frans Lieshout OFM, menceriterakan pengalaman 56 tahun berkarya di Papua Barat kepada media massa di Belanda. Berikut kesaksiannya:
“Saya tiba di Holladia, Nederlands Nieuw Guinea, pada 18 April 1963. Saya datang ketika Papua masih termasuk Kerajaan Belanda dan bernama Nederlands Nieuw Guinea. Tetapi dua minggu kemudian diambilalih oleh Indonesia, pada 1 Mei 1963.
Saya melihat orang Papua semakin terdesak. Tanggal 1 Mei 1963 ada sebuah kapal angkatan laut yang besar, yang diperlengkapi dengan bendera Indonesia memasuki pelabuhan laut Jayapura. Deknya dipenuhi kaum Tentara Nasional Indonesia. Saya datang ke pelabuhan laut Jayapura menonton kejadian itu.
Selama 56 tahun tinggal di Papua, saya terkesan oleh orang manis, ramah dan sama sekali bukan kafir. Saya telah mendampingi orang Papua selama pemerintahan Indonesia sejak tahun 1963 sampai dengan ‘pemberontakan’ di tahun 2019 yang membenamkan provinsi Papua ke dalam darah. Saya hadir selama seluruh perubahan yang telah dialami oleh orang Papua.
Perubahan ialah proses pelenyapan sebuah minoritas yang ditindas dan dihina: ‘monyet’. Begitulah orang Papua disebut oleh banyak orang Indonesia. Saya sempat ikut salah satu penerbangan KLM yang terakhir ke Hollandia, dan pada tanggal 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia.
Khususnya cara orang Indonesia masuk pada waktu itu menyentuh Tanah Nederlands Nieuw Guinea, mereka menimbulkan kesan segerombolan perampok. Tentara yang telah diutus itu merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu dipungut dari pinggir jalan.
Mungkin benar-benar demikian saat itu saya sendiri melihat amukan mereka. Menjarah barang-barang bukan hanya di toko-toko, tetapi juga di rumah-rumah sakit. Macam-macam barang diambil dan dikirim dengan kapal laut itu ke Jakarta.
Di mana-mana ada kayu api unggun: buku-buku dan dokumen-dokumen arsip Belanda dibakar hangus. Sebenarnya Nederlands masih ingin memegang Nieuw Guinea beberapa lamanya. Jutaan gulden telah dikeluarkan Pemerintah Belanda untuk membuat sisa Hindia Belanda yang terakhir ini menjadi jajahan percontohan.
Ibukota Hollandia mempunyai toko-toko yang terbaik, sekolah-sekolah terbaik dan rumah-rumah sakit yang terbaik. Dengan cara mantap yang sama Belanda bermaksud mengantar tanah jajahannya ini menuju kemerdekaan. Bahkan telah mendidik sejumlah orang Papua untuk mengambilalih pemerintahan, tetapi sayangnya, Papua tidak bernasib untung.
Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan khususnya Amerika Serikat, telah memaksa Nederlands melepaskan kolonialnya, karena mereka tidak mau bertengkar dengan Indonesia. Zaman itu zaman Perang Dingin, dan negara muda ini jangan sampai bergabung dengan blok komunis.
Pasukan Belanda berangkat dan pada 1 Mei 1963 Indonesia mengambilalih pemerintahan. Soekarno datang dua, tiga hari sesudah pengambilalihan pemerintahan. Soekarno berdiri di atas kapal perang, paling kemuka, di geladak depan kapal.
Gambaran ini bersifat simbolis bagi cara bagaimana orang Papua akan diperlakukan di masa depan. Wajah Indonesia dari semula wajah kuasa sebuah militer. Mungkin, jika sekiranya mereka lebih ramah sedikit, mereka disambut dengan hangat. Sekarang, dari semula ada aversi itu, yang terus bertambah saja.
Sebelum datang ke Nederlands Nieuw Guinea, kita dipersiapkan dengan pengetahuan mengenai Nederlands Nieuw Guinea melalui penjelasan-penjelasan disertai foto-foto dan slides. Untuk menunaikan tugas di Nieuw Guinea, selama tahun-tahun pembinaan kita dibina oleh para Fransiskan sebagai ‘Saudara Muda’, tiap tahun pasti ada yang datang berbicara tentang daerah misi pelayanan.
Namun kenyataannya, berbeda sekali dengan apa yang saya bayangkan di Nederland selama masa persiapan sebelum datang ke Nederlands Nieuw Guinea. Ceritera-ceritera burung disertai slides mengenai alam yang indah.
Nama Nieuw Guinea mengandung makna khas pada waktu itu. Sedang diperlukanlah lelaki-lelaki kuat untuk menguatkan misi di Nieuw Guinea. Saya senang ditunjuk untuk misi di Nieuw Guinea dan bukan, misalnya di Pakistan”.
Itulah ceritera mengenai tanggal 1 Mei 1963 di Jayapura. Satu Mei bagi orang Papua bukanlah ceritera bagus. Bukan pula ceritera mengenai kemeriahan pengibaran Bendera Merah Putih di seantero Tanah Papua Barat. Bagi orang Papua, 1 Mei adalah mengenai ceritera kelam. Kapan akan ada canda ria di 1 Mei di Tanah Papua Barat? Entalah. (*)