suaraperempuanpapua.id – HARAPAN dan kenyataan tak seiring jalan. Secara politik, Pemerintah Indonesia menghadirkan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Provinsi Papua agar orang Papua hidup aman dan sejahtera dalam berbagai aspek kehidupan di atas negerinya sendiri di dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia.
Harapan hidup aman dan sejahtera yang diatur dalam undang-undang otonomi khusus, tidak hanya soal pendidikan, kesehatan, ekonomi dan infrastruktur. Tetapi juga soal politik, hukum, demokrasi dan hak azasi manusia. Keempat hal inilah yang menjadi dasar diterapkannya UU Otsus di Papua.
Praktek politik, hukum, demokrasi dan hak azasi manusia yang tidak adil selama 41 tahun (1960-2001) Indonesia menginvasi Tanah Papua mendorong orang Papua tuntut merdeka dan Indonesia terpaksa terapkan otonomi khusus, pada 2001 agar orang Papua bisa merasa hidup aman dan sejahtera seperti orang Indonesia lainnya.
Ternyata, janji manis dalam UU Otsus selama 20 tahun tak pernah terbukti. Orang asli Papua tetap hidup menderita. Memang sekelompok orang Papua sudah hidup berpangku kaki, tapi mayoritas hidup rakyat Papua tak pernah berubah. Peluang kerja lebih dikuasai orang non Papua.
Karena setelah Papua otonomi khusus, pemerintah memindahkan penduduknya dari seluruh Indonesia masuk ke Papua lalu: menduduki, menguasai dan memiliki seluruh sektor kehidupan. Peluang pegawai negeri, peluang politik, seluruh struktur jabatan birokrasi pemerintahan dan politik dikuasai orang pendatang. Investasi pengelolaan sumberdaya alam juga di Papua juga tak terkendali. Orang Papua dianggap tak pernah ada.
Hal politik orang asli Papua juga telah diatur dalam UU Otsus dengan uraian kurang jelas? Orang Papua dikatakan boleh bentuk partai politik lokal, tapi dilarang negara, karena dianggap akan mengganggu stabilitas nasional. Akhirnya, orang asli Papua yang ingin masuk politik bertarung dalam partai politik nasional untuk bisa masuk anggota legislatif di kabupaten, provinsi dan nasional.
Pemilu langsung untuk memilih anggota DPR di masa otonomi khusus di Papua pun telah dilaksanakan sebanyak empat kali sejak 2004, 2009, 2014 dan 2019. Hasilnya, mayoritas orang non Papua kuasai seluruh lembaga DPR mulai dari tingkat: kabupaten, provinsi dan nasional. Hanya, sisa kursi yang dilengkapi orang asli Papua.
Untuk memenuhi rasa malunya, pemerintah mengelabui rakyat Papua dengan cara mengangkat orang asli Papua masuk DPR melalui jalur seleksi berkas administrasi. Ini adalah cara bahwa orang Papua belum beradab. Jalur ini mulai dibuka sejak 2014 sampai sekarang. Mestinya, kursi otonomi khusus ini diperebutkan melalui partai politik lokal, bukan pengangkatan.
Berdasarkan pengalaman hasil Pemilu 2019 lalu, dari 328 kursi DPRD yang tersedia di 13 kabupaten, sebanyak 184 kursi dikuasai orang non Papua dan sebanyak 113 kursi diduduki orang asli Papua. Di DPRD Kota Jayapura misalnya, dari 40 kursi, sebanyak 27 kursi diduduki orang luar dan hanya 13 kursi yang diduduki orang Papua. Begitupun Kabupaten Merauke, dari 30 kursi DPRD, sebanyak 27 kursi dikuasai orang non Papua dan hanya 3 kursi yang diduduki orang Papua. Sementra Kabupaten Mimika, dari 35 kursi, sebanyak 18 kursi dikuasai orang Papua dan 17 kursi diduduki orang pendatang.
Bagaimana dengan hasil Pemilu Rabu 14 Februari 2024? Apakah lembaga legislatif masih akan dikuasai orang Indonesia atau orang asli Papua yang akan menguasai DPR kabupaten, provinsi dan nasional?
Jika hasil Pemilu 2024 masih akan dikuasai orang luar? Maka hak politik orang asli Papua yang diatur Pemerintah Indonesia di dalam UU RI Otonomi Khusus Papua Nomor 21 Tahun 2001 adalah janji kosong. Perlu ada cara lain dari negara untuk memenuhi hak politik orang asli Papua agar orang Papua merasa aman hidup di dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia?
Paskalis Keagop